Selasa, 05 April 2011

KAJIAN KHUSUS TENTANG KAEDAH-KAEDAH HAJR (BAG. 3)

Dibaca: 273 kali. Ditulis oleh Fadhilatus Syaikh : Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhari Hafizhahullah Ta’ala
Rabu, 23 Maret 2011 09:58

BAGIAN KEDUA : HAJR YANG DISYARI’ATKAN

Telah dijelaskan pada bagian pertama bahwa diantara jenis hajr ada yang terlarang. Dengan memperhatikan nash- nash dua wahyu (al-kitab dan as-sunnah), ucapan para sahabat, dan perbuatan ulama salaf, kita mendapati bahwa disana ada satu jenis hajr yang disyari’atkan, dan memiliki tujuan- tujuan yang sangat agung.

Oleh karenanya, mungkin dapat dikatakan seperti yang disebutkan oleh sebagian ulama seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar[1], dan yang lainnya[2]: bahwa jenis pertama merupakan hajr umum yang telah dikhususkan.

Termasuk jenis ini, yaitu hajr yang disyari’atkan: seseorang menghajr istrinya, orang tua menghajr anaknya, menghajr ahli bid’ah, pelaku maksiat, dan yang menampakkannya, dan yang semisalnya.

Berkata Imam Abu Dawud dalam sunannya[3]: “Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menghajr sebagian istrinya 40 hari, Ibnu Umar menghajr anaknya sendiri sampai Beliau meninggal.” Selesai penukilan dari Beliau rahimahullah.

Berkata Al-Allamah Ibnu Muflih rahimahullah dalam Al-Aadaab Asy-Syar’iyah[4] :

“Disunnahkan menghajr pelaku maksiat yang melakukannya dengan terang-terangan baik dengan perbuatan, ucapan atau keyakinannya.” Lalu Beliau menyebutkan pasal :

“Pasal: tentang menghajr orang kafir, fasiq, ahli bid’ah yang menyeru kepada bid’ahnya yang menyesatkan.”[5], dan yang lainnya.

Diantara dalil-dalil yang menunjukkan masalah dan jenis ini adalah firman Allah Azza Wajalla dalam kitab-Nya yang mulia:

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.” (QS.Huud:113)

Berkata Al-Allamah Al-Qurthubi rahimahullah dalam Al-jami’[6] dalam menjelaskan makna ayat dan yang benar dalam memahami ayat tersebut:

“Ayat ini menunjukkan dihajr-nya orang- orang kafir, pelaku maksiat dari kalangan ahli bid’ah dan selain mereka, karena sesungguhnya bersahabat dengan mereka ada kalanya kekufuran atau kemaksiatan, sebab persahabatan itu tidaklah terjalin melain karena kecintaan.”

Allah Azza Wajalla juga berfirman :

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa , maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat.” (QS.Al-An’am:68)

Berkata Imam Ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya[7]:

“dalam ayat ini terdapat dalil yang jelas tentang larangan duduk bersama dengan ahlul bathil dari berbagai jenis, ahli bid’ah, orang fasik, tatkala mereka tenggelam dalam kebatilannya.”

Akan disebutkan pula nanti beberapa ayat yang menguatkan ayat- ayat tersebut diatas, tatkala kami berbicara tentang tujuan- tujuan syar’I diberlakukannya hajr.

Adapun dari sunnah –wahai orang- oarng yang aku cintai-, maka dalil- dalilnya banyak. Asal dari dalil tersebut adalah hadits tiga orang yang tertinggal dari perang Tabuk, hadits tersebut terdapat dalam dua shahih[8] dari hadits Ka’ab bin Malik radhiallahu anhu. Dalam hadits itu, Ka’ab berkata:

“Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melarang (kaum muslimin) untuk berbicara dengan kami tiga orang yang tidak berangkat. Maka manusia pun menjauhi kami dan mereka menampakkan perubahan terhadap kami hingga aku merasakan pada diriku bahwa aku tidak tinggal di bumi yang aku ketahui selama ini. Kami merasakan itu selama 50 malam.” Dan kisahnya panjang sekali.

Berkata Imam Ath-Thabari rahimahullah :

“Kisah Ka’ab bin Malik merupakan asal dalam menghajr pelaku maksiat.”[9]

Berkata Imam Al-Baghawi rahimahullah Ta’ala dalam syarhus sunnah[10] tatkala memberi komentar riwayat ini:

“terdapat dalil menghajr ahli bid’ah selama- lamanya.”

Saya berkata: Imam Bukhari menyebutkan bab dalam shahihnya dalam kitab al-adab, bab: apa yang dibolehkan dari menghajr pelaku maksiat[11], lalu Beliau menyebutkan potongan hadits Ka’ab.

Berkata Al-Hafizh dalam Al-Fath: “yang diinginkan dari judul bab ini adalah: menjelaskan tentang hajr yang boleh, sebab keumuman larang hajr dikhususkan terhadap orang yang dihajr tanpa sebab yang syar’I, maka dijelaskan disini sebab yang membolehkan untuk melakukan hajr, yaitu bagi orang yang melakukan maksiat, maka boleh bagi orang yang mengetahuinya untuk menghajrnya, agar dia terbebas darinya.”

Hal ini telah ditetapkan oleh para ulama seperti Al-Khatthabi rahimahullah dimana Beliau berkata dalam Ma’alim as-sunan[12] ketika memberi komentar pada kisah Ka’ab radhiallahu anhu:

“padanya terdapat ilmu: bahwa diharamkannya menghajr diantara kaum muslimin lebih dari tiga hari itu berlaku pada sesuatu yang terjadi antara dua orang karena sebab marah, atau kurang dalam menunaikan hak-hak pergaulan atau yang semisalnya, bukan sesuatu yang menyangkut masalah agama, sebab menghajr pengekor hawa nafsu dan bid’ah terus berlaku sepanjang waktu dan zaman, selama tidak nampak dari mereka taubat dan kembali kepada agama.”

Demikian pula yang lainnya dari para ulama.[13]

[1] Al-Fath: 10/497.

[2] Akan disebutkan dalam waktu dengan insya Allah.

[3] 4/280

[4] 1/247

[5] 1/hal:255

[6] 9/108.

[7] 5/330.

[8] Bukhari (4418,al-fath), Muslim (2769).

[9] AL-HAfizh Ibnu Hajar menukilnya dalam Al-Fath: (10/497).

[10] 1/226.

[11] 10/ 497, al-fath.

[12] 5/9.

[13] Seperti Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Jami’ul uluum wal hikam (2/269), dan telah disebutkan sebagiannya, dan akan disebutkan pula berikutnya.

sumber : www.salafybpp.com/manhaj-salaf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar