Sabtu, 16 April 2011

MANHAJ SALAFY DALAM TAUHIDULLOH

Berkata Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim rohimahulloh :
فصل في بيان توحيد الأنبياء والمرسلين ومخالفته لتوحيد الملاحدة والمعطلين
[ Ini adalah pasal yang menjelaskan akan tauhidnya para Nabi dan Rosul dan penjelasan bahwa tauhid mereka adalah menyelisihi tauhidnya para orang – orang yang menyimpang serta orang – orang yang menafikan dalam nama – nama dan sifat Alloh ]
Kemudian setelah memberikan sajak pengantar maka beliau berkata :
توحيدهم نوعان قولـي وفعـ *** لـي كلا نوعيه ذو برهان
[ tauhid mereka ada dua macam ; qouliy dan fi’liy
Kedua macamnya ini memiliki dalil nan bukti ] kemudian beliau rohimahulloh merincikan tauhid bentuk pertama dalam sajak – sajak berikutnya.
Penjelasan : Berkata al ‘Allamah Asy Syaikh Sholih al Fauzan hafidzohulloh : “ Tauhidnya para Nabi dan Rosul ada dua macam yaitu qouliy ( ucapan ) dan amaliy ( perbuatan ), tauhid qouliy ia adalah tauhid rububiyyah dan asma’ was sifat sedang tauhid amaliy maka ia adalah tauhid uluhiyyah ”.[ Ta’liq Mukhtashor ( 757 ) ]
Selanjutnya Syaikhul Islam rohimahulloh berkata :
فصل في النوع الثاني من نوعي توحيد الأنبياء والمرسلين
المخالف لتوحيد المعطلين والمشركين
[ Ini adalah fasal yang menjelaskan macam yang kedua dari dua macam tauhidnya para nabi dan rosul yang menyelisihi tauhidnya orang – orang yang menafikan nama dan sifat Alloh serta orang – orang musyrik ]
هذا وثاني نوعـي التوحيد تو *** حيد العبادة منك للرحمن
ألا تكون لغيره عبدا ولا *** تعبد بغير شريعة الإيمـــان
[ Inilah, dan keduanya dari dua macam tauhid adalah
Tauhid ibadah darimua untuk Dzat Maha Rohmah
Kamu tidaklah menjadi hamba untuk selainNya
Dan jangan kamu beribadah kecuali dengan syari’at iman ]
Penjelasan : Berkata al ‘Allamah Asy Syaikh Sholih al Fauzan hafidzohulloh : “ Telah berlalu bahwa nadzim menyebutkan ; tauhid ada dua macam yang secara globalnya adalah : 1 – Tauhid rububiyyah serta nama – nama dan sifat Alloh, disebut pula dengan tauhid ilmiy khobariy, beliau telah menyebutkan lawannya yaitu menafikan dan menyimpangkan nama – nama serta sifat – sifatNya. Sekarang beliau berpindah kepada penjelasan macam kedua yaitu 2 - tauhid amaliy, ia adalah tauhid dalam tholab wal qoshd ( meminta dan memaksudkan amal ), ia juga tauhid uluhiyyah, dan beliau menyebutkan lawannya yaitu syirik sebagaimana yang akan datang penjelasannya ”. Kemudian beliau hafidzohulloh mejelaskan sajak kedua dengan pernyataannya : “ Jangan kamu beibadah kecuali hanya kepada Alloh dan jangan kamu beribadah kecuali dengan syari’ahNya melalui lisan nabinya yaitu Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam, sehingga tauhid ibadah tidak akan sah melainkan dengan dua syarat ini yaitu 1 – keikhlasan kepada Alloh didalam niatan dan tujuan, dan yang ini adalah menafikan syirik. 2 – mengikut serta meneladani rosul sholallohu ‘alaihi wasallam didalam amalan, dan yang ini adalah menafikan berbagai kebid’ahan dan perkara baru …”.[ Ta’liq Mukhtashor ( 824 ) ].
Berkata al ‘Allamah Asy Syaikh Abdurrohman bin Nashir as Si’diy rohimahulloh : “ Kaedah Asasi yang pertama adalah Tauhid. Pengertian tauhid yang mencakup seluruh macamnya adalah seorang hamba meyakini dan mengimani kekhususan Alloh akan sifat – sifat yang sempurna dan mengkhususkanNya dengan segala bentuk ibadah. Tercakup dalam pengertian ini adalah Tauhid Rububiyyah yang artinya adalah meyakini keesaan Alloh dalam mencipta, memberi rizki dan dalam segala bentuk pengaturan. Tauhid Asma was Shifat yaitu menetapkan untuk Alloh segala apa yang Alloh tetapkan untuk diriNya dan apa yang ditetapkan oleh rasulNya bagiNya dari berupa segala nama yang nilainya dipuncak keindahan serta segala sifat yang sempurna lagi tinggi tanpa ada unsur menyerupakan atau menyamakan dan tanpa pula menyimpangkan atau manafikan. Tauhid Uluhiyyah dan Ibadah yaitu mengkhususkan Alloh satu - satuNya dengan segala jenis dan macam ibadah tanpa ada kesyirikan dalam satu bentukpun dari ibadah disertai dengan meyakini kesempurnaan hakNya untuk diibadahi ”.[ Mukhtashor Ushul Aqoid dari ]
Perhatikanlah rohimakumulloh ! akan kaedah asasi dari kaedah – kaedah manhaj salafy diatas, jangan kalian terkecohkan atau bahkan terpengaruh oleh kaedah baru yang disalafiyyahkan secara paksa bahwa pembagian tauhidulloh diatas adalah pembagian yang bid’ah dengan dalih bahwa para salaf yang sholih tidak menyabutkan pembagian macam demikian !
Untuk meruntuhkan kaedah baru yang dislafiyyahkan secara paksa diatas maka kalian perlu mengetahui manfaat dan fungsi dari pembagian tauhidulloh diatas, dengan demikian kalian biidznillah akan mengetahui kejahilan pencanang kaedah baru tersebut terhadap manhaj para salaf yang sholih, wallohul muwaffiq.
Berkata Asy Syaikh Al Fadhil Abdurrohman bin Nashir al Barrok ( murid senior al Imam Ibnu Baz rohimahulloh dan mantan dosen akidah di Univ. Imam Muhammad Su’ud di Riyadh ) hafidzohulloh : “ Manfaat dan fungsi dari pembagian tauhidulloh. Pembagian tauhid ini diambil dari kitabulloh dan sunnah didapati dengannya pemabagian perbedaan kelompok manusia, diantara mereka ada yang kufur terhadap macam – macam tauhid ini seluruhnya seperti orang – orang ateis dan filosofis, diantara mereka ada yang menetapkan sebagian macam tauhid namun kufur atas sebagian macam yang lain dari macam tauhid seperti keadaan orang – orang musyrik dan orang – orang mu’athilah pengkerdil tauhid . . . dengan penjelasan ini maka kita mengetahui bahwa seorang hamba tidak akan menjadi seorang muwahhid sehingga ia menetapkan tauhid seluruhnya ...”.[ Syarh Mukhtashor Ushul Aqoid dari ]
Perhatikanlah rohimakumulloh ! diketahuilah bahwa vonis bid’ah terhadap pembagian tauhidulloh tiada lain adalah untuk melindungi ahlul batil yang menyimpang dalam tauhidulloh sehingga mereka selamat dari hukum syari’ah atas mereka, wallohul musta’an.

Penulis : Ust. Abu Unaisah Jabir

SALAFY MENGAIS HARTA DUNIAWI DIBAWAH PAYUNG HIZBIYYIN .......???

Berkata Syaikhul Islam Abu Utsman Isma’il bin Abdurrohman Ash Shobuniy rohimahulloh : “ dan mereka ( Ahlus Sunnah ) bersamaan dengan itu bersepakat untuk menaklukkan ahlul bid’ah, menghinakan mereka, membuat mereka sedih, menjauhkan mereka dari umat, mengucilkan mereka dan menjauh dari mereka, dari berkawan dan bergaul dengan mereka serta bertaqorrub kepada Alloh Azza wa Jalla dengan menjauhi dan memisahkan diri dari mereka ”.[ Aqidatus Salaf (89) ]
Perhatikanlah rohimakumulloh ! menjauhkan diri dari ahli bid’ah juga hizbiyyun adalah perkara yang disepakati dikalangan para imam Ahlus Sunnah, perkara ijma’ yang secara turun – temurun diwarisi diantara Ahlus Sunnah.
Berkata Ibnu Abi Zamanin rohimahulloh : “ Bab : Larangan bermajelis dengan para pengekor bid’ah serta apa yang mereka tetapkan. Berkata Muhammad ( Ibnu Abi Zamanin ) : Ahlus Sunnah senantiasa menyingkap aib para pengekor bid’ah yang menyesatkan, senantiasa melarang dari bermajelis dengan mereka . . .”.[ Ushulus Sunnah (224) ]
Inilah jalan Salafiyyun ! jalan yang dibangun diatas Al Qur’an dan As Sunnah.
Berfirman Alloh Azza wa Jalla :
{ ولا تركنوا إلى الذين ظلموا فتمسكم النارُ }
Terjemahannya : { Dan Jangan kalian condong kepada orang – orang yang dzolim sehingga dengan sebab itu kalian disentuh adzab neraka }. Hud : 113.
Sisi pendalilannya adalah sebagaimana dinyatakan oleh Al Qurthubiy rohimahulloh : “ Bahwa ayat ini menunjukkan atas hajr terhadap pelaku kekufuran dan maksiat yaitu dari kalangan ahlul bid’ah serta selain mereka, sebab sesungguhnya pada persahabatan dengan mereka adalah kekufuran atau kemaksiatan dikarenakan persahabatan itu tidaklah dibangun kecuali diatas kasih sayang ”. [ al Jami’ Liahkamil Qur’an atau Tafsir al Qurthubiy (9/108) ]
Faedah : hajr artinya seseorang memisahkan diri dari selainnya, baik dengan badannya atau dengan lisannya atau dengan hatinya. [ Mufrodatul Qur’an karya ar Roghib al Ashfahaniy rohimahulloh ].
Alloh juga berfirman :
{ وإذا رأيت الذين يخوضون في آياتنا فأعرض عنهم حتى يخوضوا في حديث غيره وإما ينسينك الشيطان فلا تقعد بعد الذكرى مع القوم الظالمين }
Terjemahannya : { Dan jika engkau melihat orang – orang yang tenggelam didalam memicarakan secara batil terhadap ayat – ayat Kami maka berpalinglah engkau dari mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lainnya, namun jika syaithon melalaikanmu sehingga kamu duduk dengan mereka lalu kamu tersadar maka jangan kamu duduk setelah kamu tersadar dengan orang – orang yang dzolim }. Al An’am : 68
Sisi pendalilannya adalah apa yang dinyatakan oleh al Imam ath Thobariy rohimahulloh : “ Didalam ayat ini terdapati dalil yang gamblang akan dilarangnya bermajelis dengan pelaku kebatilan dari kalangan ahli bid’ah . . .”. [ Jami’ul Bayan atau Tafsir Ibnu Jarir ath Thobariy (5 / 330 ) ]
Berkata as Suyuthiy rohimahulloh : “ { berpalinglah kamu dari mereka } artinya jangan kamu bermajelis dengan mereka ”. [ Tafsir Jalalain (118) ]
Berkata al Qurthubiy rohimahulloh : “ Jika telah tetap keabsahan perintah menjauhi para pelaku kemaksiatan sebagaimana yang telah kami jelaskan maka menjauhi ahlul bid’ah dan pengekor hawa nafsu adalah lebih utama untuk ditetapkan keabsahannya ”.[ al Jami’ Li Ahkamil Qur’an (5 / 418) ]
Adapun As Sunnah maka diantaranya adalah hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha bahwa Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam membaca ayat ke 7 dari surat Aali ‘Imron kemudian beliau bersabda (terjemahannya) : “ jika kalian melihat orang – orang yang mengikuti yang masih samar dari Al Qur’an berarti merekalah orang – orang yang telah Alloh sebut dalam ayat ini maka berhati – hatilah kalian dari mereka ”.[ Bukhoriy (4547) & Muslim (2665) ]
Sisi pendalilannya adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh An Nawawiy rohimahulloh dalam menjelaskan hadits ini : “ Dalam hadits ini terdapat peringatan keras dari bergaul dan bercampur dengan orang yang menyimpang dan ahlul bid’ah serta siapa saja yang mengekor kepada perkara – perkara yang masih samar dalam rangka fitnah ”.[ Syarh Shohih Muslim ]
Renungkanlah rohimakumulloh ! maka seorang salafy yang bergabung dengan hizbiyyin dibawah payung bid’ah mereka dalam tujuan mengais harta duniawi adalah penyimpangan dari manhaj salafy sebab ia menyelisihi ijma’ ulama yang dibangun diatas Al Qur’an dan As Sunnah.
Adapun jika ada yang menetapkan bahwa hal itu bukanlah penyimpangan juga tidak membuat keluar pelakunya dari barisan salafiyyin selama masih berakidah salafiyyah dan mencintai salafiyyin, maka perhatikanlah nasehat Al Barbahariy berikut ini ;
Berkata Abu Muhammad al Barbahariy rohimahulloh : “ Maka perhatikanlah _rohimakumulloh_ setiap perkataan yang kamu dengar dari siapapun yang sezaman denganmu, jangan kamu terburu – buru mengikutinya, jangan pula kamu segera masuk kedalamnnya sedikitpun sehingga kamu bertanya – tanya dan kamu perhatikan ; apakah ada seorang saja dari sahabat Nabi atau seorang ulama yang telah menyatakan ucapan orang tersebut ? jika kamu dapati adanya ucapan dari mereka tentangnya maka pegangilah perkataan tersebut dan jangan kamu meninggalkannya sebab sesuatu alasan sehingga kamu tergelincir kepadalam neraka !”. [ Syarhus Sunnah (17) ]
Kemudian penjelasan Al ‘Allamah Sholih al Fauzan hafidzohulloh : “ manhaj adalah lebih umum dibandingkan akidah, manhaj terdapati dalam akidah, tata kesopanan, akhlak, mu’amalah dan didalam semua sisi kehidupan seorang muslim. Setiap langkah yang ditempuh seorang muslim disebut manhaj. Adapun akidah maka dimaksudkan dengannya dasar keimanan dan makna dua kalimat syahadat serta konsekwensi dari keduanya, inilah dia akidah ”.[ Al Ajwibah Al Mufidah (123) ]
Selanjutnya beliau hafidzohulloh gamblangkan : “ manhaj, jika ia benar maka pemiliknya akan menjadi termasuk ahli jannah, apabila ia bermanhaj dengan manhaj Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam serta manhaj as salafush sholih maka ia akan menjadi ahlil jannah insya’alloh. Namun apabila ia menjadi bermanhaj dengan manhaj yang sesat maka ia terancam adzab neraka, jadi kebenaran manhaj dan tidaknya itu berakibat kepada sorga dan neraka ”.[ Al Ajwibah Al Mufidah (125) lihat Shiyanah ]
Berkata Al ‘Allamah Zaid al Madkholiy hafidzohulloh : “ Manhaj as salafush sholih berikut pengikutnya tidaklah hanya terbatas pada pembahasan – pembahasan akidah namun ia adalah akidah dan amal sesuai makna yang diusung oleh kalimat amal, atas dasar ini maka Salafiyyah adalah akidah dan amal ”.[ Min Qowa’idid Dakwatis Salafiyyah no. 4 ].
Oleh karenanya ketika beliau ditanya : “ Kapankah seseorang menjadi hizbiy ? ” maka beliau hafidzohulloh menjawab : “ 1. dengan ia bergabung dengan kelompok tertentu yang memiliki manhaj yang khusus untuk kelompoknya yang menyelisihi manhaj as salafush sholih ahlul hadits wal atsar, seperti kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) berikut sempalan – sempalannya juga kelompok Tabligh dan orang – orang yang lembek terhadap mereka. Dia membela kelompok tersebut, benar ataupun keliru. 2. dia bermajelis dan berjalan bersama salah satu dari kelompok – kelompok yang sudah aku sebutkan (yaitu kelompok – kelompok ahli bid’ah dari kalangan IM dan firqoh Tabligh) serta selain mereka dari orang – orang yang menyimpang dalam akidah dan amal baik mereka kelompok atau orang perorang, baik pimpinan ataupun pengekor ”.[ Al ‘Aqdul Mundhid pertanyaan no. 26 ]
Pada kitab yang sama disebutkan bahwa beliau hafidzohulloh menyatakan : “ Yang mesti untuk diketahui bahwa salafiyyah adalah akidah dan manhaj, dakwah dan amal. Maka akidah dan amal keduanya saling terkait, tiada akan terpisah salah satu dari yang lainnya, sehingga tidak mungkin untuk terwujud akidah yang benar secara sempurna dengan adanya penyimpangan dalam amal, dan begitu pula sebaliknya. Adalah sebuah kontradiksi bahkan merupakan pengelabuan jika seseorang mengaku mencocoki orang lain dalam akidah namun ia menyelisinya dalam manhaj dan amal atau mencocoki orang lain dalam manhaj dan amal namun menyelisihi akidahnya, ini adalah pencampur adukan dan ini adalah pengelabuan terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain, ini juga sebab kesesatan orang yang menyimpang. Kesimpulannya adalah bahwa pemilik pemikiran dan jalan ini ia wajib untuk berlepas diri dari pemikirannya tersebut dan wajib untuk bersama para salaf dan orang – orang yang menempuh jalan salaf, mencocoki mereka didalam akidah, ibadah, mu’amalah, manhaj dakwah, manhaj amar ma’ruf wa nahi mungkar, manhaj loyalitas dan permusuhan, sikap terhadap penguasa dan didalam segala perkara dari perkara ilmu dan amal, kita mengajaknya kepada hal ini dan mengharuskannya dengan ini serta mengingatkan dia dari perbuatannya tersebut, kita memohonkan kepada Alloh perlindungan untuknya dari kegoncangan ini yang akan menelantarkan dirinya kepada perkara yang berbahaya lagi tiada manfaat. Wallohu a’lam ”.[ Al ‘Aqdul Mundhid jawaban no. 50 ]
Atas dasar ini maka waspadalah ! sebab : “ Barangsiapa yang bermajelis dengan ahli bid’ah berarti ia lebih berbahaya atas kami dibanding ahlil bid’ah ” dinyatakan tegas oleh Abdulloh bin ‘Aun rohimahulloh. [ al Ibanatul Kubro karya Ibnu Baththoh no. 486 lihat shiyanah ]
والله أعلم وصلى الله على محمد وعلى آله وسلم والحمد لله

Penulis : Ust. Abu Unaisah Jabir

PENJELASAN TENTANG PEMAHAMAN WAHABI

Pembelaan atas negeri Saudi - Wahabi = Sunni Salafy (III) Penulis: Asy Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Baz
Wahabi Pelanjut Gerakan Salaf Ahlussunnah wal Jama’ah

Kelompok Wahabi –demikian istilah yang dipakai oleh penulis di berita mingguan urdu itu- bukanlah kelompok baru dalam menyatakan salahnya acara-acara bid’ah semacam ini. (Wahabi dinisbahkan kepada pengikut seorang hamba Allah, Abdul Wahhab, yakni Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, red)
Akidah Wahabi dilandaskan pada :

a. Berpegang teguh kepada kitab Allah.

b. Berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah.

c. Berjalan pada garis ajaran Rasul Shallallahu ‘alaihi wassalam dan garis ajaran Khulafa’ Rasyidin setelah beliau serta para Tabi’in dan

d. Meniti jejak para ulama’ al-Salaf al-Sholih, para imam terkemuka dalam Islam, yaitu para ahli fiqih dan taqwa.

Inilah landasan Akidah Wahhabi dalam hal Ma’rifatullah dan Itsbatush Shifah (penetapan sifat-sifat ke-Maha Sempurnaan dan ke-Maha Agungan Allah ) yang diturunkan oleh al-Qur’an dan tertera dalam hadits-hadits shahih serta yang dipegang teguh oleh para sahabat Rasul- Shalallahu ‘alaihi wassalam-. Wahabi menetapkan, mengimani dan menerima apa adanya sifat-sifat Allah itu :

- Tanpa tahrif (mengubahnya)

- Tanpa ta’thil (meniadakan ma’nanya)

- Tanpa takyif(mempertanyakan bagaimana atau mengandaikannya), dan

- Tanpa tamtsil (menyerupakan dengan sifat-sifat Makhluk).

Wahabi berpegang pada dasar-dasar aqidah yang dianut oleh para ahlul ‘ilmi wat-taqwa generasi pendahulu(salaf) dan para imam umat ini yaitu para tabi’in dan pengikut setia mereka, mereka mengimani bahwa dasar dan fondasi iman adalah :

شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله
Artinya: Kesaksian bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah.

Syahadat ini adalah dasar iman, ia harus mengandung ilmu (pengertian dan keyakinan), amal(tindakan) dan pernyataan lesan, sebagaimana hal itu telah menjadi ijma’ umat Islam.

Kandungan arti syahadat ini adalah :

a. Kewajiban beribadah (mengabdi) kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan

b. Bara’ah (berlepas diri) dari penyembah kepada selain Allah, apapun dan siapapun dia.

Inilah hikmah (Inti tujuan ) diciptakannya Jin dan Manusia. Untuk tujuan ini pula para Rasul diutus dan kitab-kitab Ilahi diturunkan.

Syahadat ini juga mengandung :

a. Puncak (klimaks) rasa rendah dan rasa cita kepada Allah semata, dan

b. Puncak (klimaks) rasa taat dan pengagungan kepada-Nya.

Inilah din al-Islam (agama Islam) yang Allah tidak akan menerima agama apapun selainnya baik itu dari kaum-kaum terdahulu maupun dari kaum-kaum yang datang kemudian. Karena seluruh nabi berpegang kepada dien al-Islam ini dan merekapun diutus untuk menyeru menuju al-Islam , dan menuju apa yang dikandung oleh makna al-Islam itu, yaitu al-istislam (berserah diri) kepada Allah semata.

Maka orang yang berserah diri kepada Allah dan kepada selain-Nya, atau memanjatkan do’a kepada Allah dan kepada selain-Nya ia adalah musyrik, dan barang siapa yang tidak berserah diri kepada-Nya, ia berarti mustakbir, angkuh dan enggan menyembah-Nya.

Allah Ta’ala berfirman :

]وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ [سورة النحل الآية : 36
Artinya : “Dan sesungguhnya kami telah mengutus ke kalangan masing-masing umat seorang rasul untuk menyeru “Sembahlah (beribadahlah) kepada Allah dan jauhilah thoghut”.

Akidah Wahabi berasaskan pada pewujudan syahadat (kesaksian) bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, dengan konsekwensi menolak segala aneka bid’ah dan khurafat serta segala yang bertentangan dengan syari’at yang dibawa Rasulullah, Muhammad e

Inilah aqidah yang diyakini, dianut dan didakwahkan oleh syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab –rahimahullah-. Barang siapa yang menisbatkan (melekatkan) kepada beliau aqidah lain yang bertentangan dengan aqidah di atas , berarti ia telah melakukan kedustaan dan berbuat suatu dosa yang nyata serta menyatakan suatu hal yang ia tidak memiliki ilmu tentang hal itu, yang kelak akan dibalas oleh Allah sebagaimana layaknya ancaman kepada para perekayasa kedustaan dan fitnah.

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab telah memaparkan sejumlah tulisan tetang fiqh (dalam madzhab Imam Ahmad ibn hanbal).Beliau juga menulis beberapa bahasan dan kajian yang memiliki kekhasan dalam penyuguhan, dan karya-karya tulis yang bagus seputar Kalimatul-Ikhlas wat-Tauhid(لا إله إلا الله) dan arti syahadat (kesaksian) terhadap(لاإله إلا الله) serta tentang kandungan makna kalimah syahadat itu, yang diturunkan oleh al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’, yang tersimpul dalam dua hal :

a. Pernyataan bahwa selain Allah tidak berhak untuk disembah dan dipertuhankan.

b. Penetapan bahwa hanya Allah semata yang berhak disembah dan dipertuhankan. Penyembah (ibadah\ubudiah) kepada Allah ini wajib dilakukan semurni-murninya dan sesempurna-sempurnanya, terbebas dari unsur syirik (penyekutuan) baik yang kecil maupun yang besar, baik yang nyata maupun yang samar.

Orang mengetahui karangan-karangan Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab dan data-data akurat tentang pikiran, dakwah dan jejak perjuangan beliau, serta mengetahui aqidah yang dipegang oleh kawan seperjuangan dan murid-murid beliau, nyatalah baginya bahwa Syeikh adalah sosok yang konsisten pada aqidah pemurnian tauhid dan perjuangan membasmi bid’ah dan khurafat. Dan itulah garis para as-Salaf as-Shaleh dan para imam terkemuka.

Saudi Berusaha Menapak-Tilasi Jejak Salaf

Alhamdulillah diatas garis inilah Pemerintah Saudi tegak. Para Ulama’nyapun meniti garis itu. Pemerintah Saudi tidaklah bersikap keras kecuali dalam menentang bid’ah dan khurafat yang menodai Agama Islam dan dalam mendobrak sikap ghuluw (melampaui batas dalam menjalankan agama) yang hal itu dilarang oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.

Ulama’ Islam di Saudi, para ulama’ dan penguasanya sangat menghormati setiap muslim. Mereka hunjamkan di hati mereka rasa loyalitas, pembelaan, cinta dan penghargaan tinggi kepada setiap muslim dari negara dan arah manapun.

Mereka hanyalah menentang dan tidak mentolerir ulah para pendukung aqidah sesat yang mengadakan aneka bid’ah dan khurafat serta peringatan hari-hari besar bid’ah. Pengadaan dan penyelenggaraan pertemuan untuk acara-acara bid’ah itu adalah termasuk hal-hal yang tidak diizinkan dan tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wassalam. Para ulama’ dan penguasa Saudi mencegah hal itu karena ia adalah termasuk amalan-amalan baru yang diada-adakan, sedangkan setiap amalan-amalan baru seluruh umat Islam diperintah mengikuti As-Sunnah, bukan diperintah mengada-adakan bid’ah , Karena agama Islam adalah sempurna dan cukup apa yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam dan apa yang diterima sebagai ajaran as-Sunnah oleh Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu para sahabat, Tabi’in dan orang-orang yang mengikuti garis mereka.

Pelarangan terhadap penyelenggaraan maulid, hal-hal yang mengandung sesuatu yang melampaui batas dalam agama (ghuluw) atau mengandung kemusyrikan dan yang serupa bukanlah tindakan yang non-Islami atau penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam. Akan tetapi itu justru suatu ketaatan kepada beliau dan pelaksanaan perintah beliau. Dalam kaitan ini beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

إيا كم والغلو في الدين فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين
Artinya : “Jauhilah oleh kamu ghuluw (sikap berlebihan dan melampui batas) dalam agama. Sesungguhnya penyebab kehancuran kaum sebelum kamu adalah sikap ghuluw dalam agama.”

Dan beliaupun bersabda :
لاتطروني كما أطرت النصاري ابن مريم، إنما أنا عبد فقولوا عبد الله ورسوله.
artinya : “Janganlah kamu berlebihan memujiku sebagai mana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji dan menyanjung (Isa) putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba. Karenanya, sebutlah (aku) : “Hamba Allah dan rasul-Nya”.

Penutup

Inilah yang ingin saya jelaskan dalam menyanggah makalah yang dimuat di warta mingguan IDARAT (INDIA). Kepada Allah saja kita panjatkan permohonan , semoga Dia melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kepada seluruh umat Islam untuk dapat memahami agama Allah dan tetap teguh padanya. Sesungguhnya Allah Maha Pemberi Karunia,. Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam sejahtera kepada Nabi kita, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassallam, juga kepada keluarga dan para sahabat beliau.

Pimpinan Umum
Direktorat Riset, Fatwa, Da’wah, Bimbingan Islam
Abdul Aziz bin‘Abdullah bin Baz.


(Dikutip dari tulisan edisi bahasa Indonesia Kewajiban Berpegang Teguh Terhadap As-Sunnah Dan Waspada Terhadap Bid’ah, ditulis oleh Pimpinan Umum Direktorat Riset, Fatwa, Da’wah, Bimbingan Islam Abdul Aziz bin‘Abdullah bin Baz, Depag Saudi Arabia).

Jumat, 15 April 2011

SERIAL AQIDAH SHOHIHAH

Iman Terhadap Taqdir

Makna Iman terhadap Taqdir adalah keimanan bahwa kejadian sudah diketahui oleh Alloh sebelum terjadi, saat terjadi, sesudah terjadi dan bagaimana terjadinya serta akibat dari kejadian tersebut, keimanan bahwa segala kejadian telah Alloh tuliskan dalam kitab, keimanan bahwa disaat kejadian tersebut terjadi maka tidak lepas dari kehendak Alloh serta penciptaan Alloh terhadapnya, masuk didalamnya keimanan bahwa Alloh menciptakan kemampuan bagi hamba berupa kesiapan dan keselamatan alat untuk berbuat serta Alloh menciptakan untuknya keinginan namun Alloh melebihkan bagi orang beriman berupa taufiq dan pemeliharaan dari tergelincir berlarut – larut dalam kekukufuran, kefasikan dan kemaksiatan, keimanan bahwa segala perbuatan Alloh berlandaskan diatas keadilan, hikmah dan kemurahan.

Dari pemaparan diatas dipahamilah beberapa cabang pembahasan iman terhadap taqdir diantaranya :

Pertama : beriman terhadap taqdir adalah wajib dan merupakan salah satu rukun iman yang enam dan barang siapa yang mengingkarinya maka kafir . Alloh berfirman :

{ إن كل شيء خلقناه بقدر }

Alloh memberitakan dalam ayat tersebut bahwa segala sesuati Dia ciptakan dengan taqdir maka barang siapa yang mengingkarinya berarti dia mendustakan pemberitaan Alloh dan itu adalah kekufuran . Rasululloh bersabda saat ditanya tentang iman :

{ وأن تؤمن بالقدر خيره وشره } رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة ورواه مسلم أيضا عن عمر

Rasululloh memberitakan bahwa iman diantaranya adalah iman terhadap taqdir, jawaban beliau ini yang hanya menyebut enam perkara menunjukkan bahwa enam perkara itulah rukun iman oleh karenanya Abdulloh bin Umar berdalilkan dengan hadis ini akan kafirnya orang yang mengingkari taqdir sebagaimana disebutkan dalam shohih Muslim dalam kitabul iman . Hal itu sebab yang mengingkarinya adalah mendustakan pemberitaan Rasululloh .

Kedua : rukun didalam mengimani taqdir ada dua yaitu sebelum kejadian dan ketika terjadi . Sebelum kejadian terkandung didalamnya kewajiban mengimani bahwa Alloh telah mengetahuinya dan telah menuliskannya dalam kitab . Alloh berfirman :

{ إن الله يعلم ما في السماء والأرض إن ذلك في كتاب إن ذلك على الله يسير }

Alloh memberitakan dalam ayat tersebut ilmuNya terhadap segala sesuatu dan bahwa hal itu telah Dia tulis dalam kitab, maka barang siapa yang mengingkari hal ini berarti dia mendustakan pemberitaan Alloh dan itu adalah kekufuran . Contoh mengingkari hal ini adalah keyakinan atau ucapan bahwa Alloh tidaklah mengetahui kejadian kecuali jika telah terjadi adapun sebelumnya maka tidak mengetahui, Maha Suci Alloh dari sangkaan semisal ini ! oleh karenanya para ulama mengkafirkan kelompok qodariyyah ekstrim yang mengingkari ilmu Alloh terhadap kejadian .

Ketika terjadi kejadian maka dalam rukun ini terkandung dua perkara yang wajib diimani yaitu tidak terlepasnya kejadian tersebut dari kehendak Alloh dan penciptaan Alloh terhadapnya . Alloh berfirman :

{ إنما أمره إذا أراد شيئاً أن يقول له كن فيكون }

Alloh memberitakan dalam ayat tersebut tidak terlepasnya setiap kejadian dari kehendak Alloh maka wajib atas setiap hamba untuk meyakini benarnya pemberitaan Alloh ini . Adapun penciptaan maka Alloh berfirman :

{ الله خالق كل شيء }

Alloh memberitakan bahwa Dia adalah Maha Pencipta yang menciptakan segala sesuatu, maka yang ada hanyalah dua Kholiq Sang Maha Pencipta yaitu tiada lain adalah Alloh atau makhluq yang dicipta yaitu apapun selain Alloh . Hal ini wajib diimani sebab berita dari Alloh adalah benar .

Ketiga : Alloh menciptakan kemampuan dan kehendak bagi manusia sehingga mereka adalah pemilik keduanya, dari tinjauan ini maka perbuatan manusia juga merupakan makhluq ciptaan Alloh . Alloh berfirman :

{ والله خلقكم وما تعملون }

Alloh memberitakan kepada manusia bahwa Dia adalah Dzat yang menciptakan mereka seutuhnya termasuk didalamnya adalah kemampuan dan kehendaknya, Dia juga Dzat yang menciptakan amal perbuatan mereka tanpa terkecuali . Perlu diketahui bahwa kemampuan yang diperuntukkan bagi hamba ada dua bentuk ; pertama adalah kemampuan berupa kesiapan alat dan keselamatannya dari cacat untuk menjalankan ketaatan seperti badan yang sehat, akal yang waras dan panca indera yang normal, maka kemampuan jenis ini terkait padanya perintah dan larangan dalam artian siapa yang badannya sehat lagi normal dan waras akalnya serta inderanya maka dia terbebani ketaatan menjalankan perintah dan menjauhi larangan . Kemampuan jenis ini tidak dibedakan antara mukmin dan kafir . Kedua adalah kemampuan yang berupa taufiq untuk menjalani ketaatan dan ‘ishmah dari kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan atau berlarut – larut didalamnya, maka ini tidak terkait padanya perintah dan larangan namun ini hanya diperuntukkan bagi hambanya yang muwaffaq dari orang – orang yang beriman .

Perkara ini wajib diimani dan diyakini kebenarannya, adapun pengingkaran bahwa perbuatan manusia ciptaan Alloh akan tetapi ciptaan manusia itu sendiri maka ini adalah kesesatan yang nyata tak ubahnya seperti kesyirikan kaum majusiy yang meyakini adanya dua pencipta bagi alam ini . Meski demikian hamba adalah pelaku hakiki, dia diberi kehendak dan kemampuan oleh karenanya perbuatan manusia dinisbatkan kepadanya sehingga dialah simukmin atau kafir atau fasik . Alloh berfirman :

{ لمن شاء منكم أن يستقيم وما تشاؤن إلاّ أن يشاء الله ربالعلميــن }
Alloh memberitahukan kepada hambaNya bahwa mereka memiliki kehendak untuk memilih antara istiqomah diatas al haq atau tidak namun kehendaknya tidaklah akan terwujud kecuali jika dikehendaki oleh Alloh untuk terjadi . Alloh juga berfirman :

{ وما رميت إذ رميت ولكن الله رمى }
Alloh memberitakan bahwa dihari perang badr nabi kita Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam melemparkan pasir kepada barisan musuh, beliaulah yang melempar dan disebut sebagai pelempar namun Alloh beritakan bahwa kemampuan untuk pasir itu tepat mengenai wajah setiap musuh adalah milik Alloh . Inilah dua kemampuan yang dijelaskan diatas sekaligus memberitahukan bahwa hamba adalah pelaku hakiki punya kehendak untuk berbuat dan bukan paksaan yang tidak memiliki kehendak dan kemampuan . Maka pendapat bahwa manusia adalah paksaan yang tidak memiliki kehendak dan kemampuan namun kehendak adalah kehendak Alloh yang menjadi pelaku perbuatannya juga Alloh adalah bentuk kesesatan lain dalam taqdir yang nyata tak dinyana ia akan mengantarkan kepada wawasan bersatunya Dzat Alloh dengan dzat hambaNya, jika sampai demikian maka tak ragu lagi bahwa itu adalah kekufuran .

Keempat : Alloh adalah pemilik nama al Hakim yang diantara maknanya adalah Pemilik sifat hikmah dalam setiap perbuatannya, perbuatanNya tidaklah terlepas dari kesempurnaan ilmuNya dan berporos pada sifat adil atau fadhl ( kemurahan ) . Jika Dia menimpakan adzab apapun bentuknya maka atas dasar sifat adilNya, ia tidak akan pernah sekalipun menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya dan jika Dia mencurahkan nikmat apapun bentuknya kepada hamba maka atas dasar fadhlNya, tiadalah seorangpun yang membebaniNya . Alloh berfirman :

{ إن الله كان عليماً حكيماً }

Alloh juga berfirman :

{ قل بفضل الله وبرحمته فبذلك فليفرحوا هو خير مما يجمعون }

Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

{ لن يدخل الجنة أحد يعمله } قيل : ولا أنت يا رسول الله ؟ قال : { ولا أنا إلاّ أن يتغمدني الله برحمته }
Rasululloh memberitakan bahwa amal yang dikerjakan hamba apapun amal tersebut berapapun nilai dan jumlahnya tidak akan pernah bisa menjadi penukar surga bahkan termasuk amal beliau namun amal adalah sebab untuk mencapai rahmatNya dan rahmatNya adalah fadhlNya dengannya seseorang masuk surga . Oleh karenanya rasulululloh sholallohu ‘alaihi wasallam memerintahkan hamba untuk beramal .

Kelima : Tidak ada kontradiksi antara taqdir dengan perintah beramal, sebab Islam berisikan dua kandungan ; pertama berita yang wajib diimani dan diyakini kebenarannya, haram untuk diingkari dan didustakan . kedua adalah tuntutan yang wajib ditaati dan haram untuk didurhakai . Taqdir adalah jenis pertama yang termasuk berita maka apapun yang diberitakan oleh Alloh dan rasulNya dari taqdir wajib diimani dan diyakini kebenarannya sedang perintah dan larangan adalah masuk jenis kedua yaitu tuntutan maka perintah wajib ditaati dengan dijalankan dan larangan wajib ditinggalkan . Alloh berfirman :

{ الا له الخلق والأمر }

Alloh memberitakan dalam ayat tersebut bahwa taqdir dan perintah adalah berbeda namun kesemuanya adalah milikNya .
Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

{ ما من نفس إلا وقد كتب مكانها من الجنة أو النار } قيل : فلما نعمل يا رسول الله أفلا نتكل ؟ قال : { اعملوا كل ميسر لما خلق له فمن خلق للجنة فسييسر لعمل اهل الجنة ومن خلق للنار فسييسر لعمل اهل النار }
Artinya : { tidak ada satu jiwapun melainkan telah dituliskan tempatnya disurga atau dineraka } ada yang bertanya : maka untuk apakah kita beramal wahai rasululloh, tidakkah lebih baik kita pasrah terhadap taqdir yang telah ditulis ? maka beliau bersabda : { beramallah kalian ! masing – masing akan dimudahkan sesuai taqdirnya, barang siapa yang ditaqdirkan bagi surga niscaya dia akan diberi kemudahan untuk beramal amalan penghuni surga dan barang siapa yang ditaqdirkan bagi neraka niscaya dia akan diberi kemudahan untuk beramal amalan penghuni neraka } .

Keenam : Sumber kesesatan didalam taqdir sangatlah banyak namun ujungnya adalah satu, tenggelam mengorek hikmah taqdir ilahi sehingga mengantarkan pelakunya kedalam lubang kejahiliyahan . Berkata Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah rohimahulloh :

وأصل ضلال الخلق من كل فرقة *** هو الخوض في فعل الإلـه بعلـة

فإنهم لم يفهموا حكمة لـــه *** فصاروا في نوع من الجاهلــية
Diantara bukti konkrit ucapan Syaikhul Islam diatas adalah bahwa ahlul jahiliyyah tidak membedakan antara taqdir dengan perintah sebagaimana hal ini juga merupakan sunnah jahiliyyah yang jika mereka diperintah kepada tauhid dan dilarang dari syirik maka mereka durhaka dengan beralasan kepada taqdir . Alloh berfirman :

{ قالوا لو شاء الله ما أشركنا ولا آباؤنا ولا حرمنا من شيء } الآية
Alloh memberitakan jawaban orang – orang musyrik ketika diperintahkan untuk mentauhidkan Alloh dan meninggalkan kesyirikan serta berbagai keharaman, mereka menjawab : “ kalau Alloh mentaqdirkan niscaya kami tidak akan berbuat kesyirikan tidak pula bapak – bapak kami dan juga Alloh tidak akan mengharamkan sesuatupun bagi kami ” mereka durhaka dengan beralasan kepada taqdir . Wallohul Muwaffiq .

والله أعلم وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وسلم والحمد لله .

Rabu, 13 April 2011

HUKUM MENYINGKAT TULISAN SHOLAWAT SAW, DAN SINGKATAN-SINGKATAN SEJENISNYA

Penulisan shalawat kepada Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) tidak selayaknya untuk disingkat dengan ‘SAW’ atau yang semisalnya.
Termasuk dalam hukum ini juga adalah penulisan subhanahu wata’ala disingkat menjadi SWT, radhiyallahu ‘anhu menjadi RA, ‘alaihissalam menjadi AS, dan sebagainya. Berikut penjelasan Al-Imam Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah disertai dengan perkataan ulama salaf terkait dengan permasalahan ini.

Sebagaimana shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu disyari’atkan ketika tasyahhud di dalam shalat, disyari’atkan pula di dalam khuthbah-khuthbah, do’a-do’a, istighfar, setelah adzan, ketika masuk masjid dan keluar darinya, ketika menyebut nama beliau, dan di waktu-waktu yang lain, maka shalawat ini pun juga ditekankan ketika menulis nama beliau, baik di dalam kitab, karya tulis, surat, makalah, atau yang semisalnya.


Dan yang disyari’atkan adalah shalawat tersebut ditulis secara sempurna sebagai realisasi dari perintah Allah ta’ala kepada kita, dan untuk mengingatkan para pembacanya ketika melalui bacaan shalawat tersebut.

Tidak seyogyanya ketika menulis shalawat kepada Rasulullah dengan singkatan ‘SAW’[1] atau yang semisal dengan itu, yang ini banyak dilakukan oleh sebagian penulis dan pengarang, karena yang demikian itu terkandung penyelisiahan terhadap perintah Allah subhanahu wata’ala di dalam kitabnya yang mulia:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
“Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)

Bersamaan dengan itu tidaklah tercapai dengan sempurna maksud disyari’atkannya shalawat dan hilanglah keutamaan yang terdapat pada penulisan shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sempurna. Dan bahkan terkadang pembaca tidak perhatian dengannya atau tidak paham maksudnya (jika hanya ditulis ‘SAW’)[2].

Dan perlu diketahui bahwa menyingkat shalawat dengan singkatan yang seperti ini telah dibenci oleh sebagian ahlul ‘ilmi dan mereka telah memberikan peringatan agar menghindarinya.
Ibnush Shalah di dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits’ atau yang dikenal dengan ‘Muqaddamah Ibnish Shalah’ pada pembahasan yang ke-25 tentang ‘penulisan hadits dan bagaimana menjaga kitab dan mengikatnya’ berkata:

“Yang kesembilan: hendaknya menjaga penulisan shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyebut nama beliau dan jangan merasa bosan untuk mengulanginya (penulisan shalawat tersebut) jika terulang (penyebutan nama beliau) karena sesungguhnya hal itu merupakan faidah terbesar yang tergesa-gesa padanya para penuntut hadits dan para penulisnya (sehingga sering terlewatkan, pent).

Dan barangsiapa yang melalaikannya, maka sungguh dia telah terhalangi dari keberuntungan yang besar. Dan kami melihat orang-orang yang senantiasa menjaganya mengalami mimpi yang baik, apa yang mereka tulis dari shalawat itu merupakan do’a yang dia panjatkan dan bukan perkataan yang diriwayatkan. Oleh sebab itu tidak ada kaitannya dengan periwayatan, dan tidak boleh mencukupkan dengan apa yang ada di dalam kitab aslinya.

Demikian juga pujian kepada Allah subhanahu wata’ala ketika menyebut nama-Nya seperti ‘azza wajalla, tabaraka wata’ala, dan yang semisalnya.”

Sampai kemudian beliau mengatakan:

“Kemudian hendaknya ketika menyebutkan shalawat tersebut untuk menghindari dua bentuk sikap mengurangi. Yang pertama, ditulis dengan mengurangi tulisannya, berupa singkatan dengan dua huruf atau yang semisalnya. Yang kedua, ditulis dengan mengurangi maknanya, yaitu dengan tanpa menuliskan ‘wasallam’.

Diriwayatkan dari Hamzah Al-Kinani rahimahullahu ta’ala, sesungguhnya dia berkata:

“Dahulu saya menulis hadits, dan ketika menyebut Nabi, saya menulis ’shallallahu ‘alaihi’ tanpa menuliskan ‘wasallam’. Kemudian saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam mimpi, maka beliau pun bersabda kepadaku: ‘Mengapa engkau tidak menyempurnakan shalawat kepadaku?’ Maka beliau (Hamzah Al-Kinani) pun berkata: ‘Setelah itu saya tidak pernah menuliskan ’shallallahu ‘alaihi’ kecuali saya akan tulis pula ‘wasallam’.
Ibnush Shalah juga berkata:

“Saya katakan: Dan termasuk yang dibenci pula adalah mencukupkan dengan kalimat ‘alaihis salam’, wallahu a’lam.”

-Selesai maksud dari perkataan beliau rahimahullah secara ringkas-.
Al-’Allamah As-Sakhawi rahimahullahu ta’ala di dalam kitabnya ‘Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi’ berkata:

“Jauhilah -wahai para penulis- dari menyingkat shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tulisan engkau dengan dua huruf atau yang semisalnya sehingga penulisannya menjadi kurang sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Kattani dan orang-orang bodoh dari kebanyakan kalangan anak-anak orang ‘ajam dan orang-orang awam dari kalangan penuntut ilmu.

Mereka hanya menuliskan “ص”, “صم”, atau “صلم” sebagai ganti shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang demikian itu di samping mengurangi pahala karena kurangnya penulisannya, juga menyelisihi sesuatu yang lebih utama.”

As-Suyuthi rahimahullah di dalam kitabnya ‘Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribin Nawawi’ berkata:

“Dan termasuk yang dibenci adalah menyingkat shalawat atau salam di sini dan di setiap tempat/waktu yang disyari’atkan padanya shalawat, sebagaimana yang diterangkan dalam Syarh Shahih Muslim dan yang lainnya berdasarkan firman Allah ta’ala:

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
“Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (Al-Ahzab: 56)”

Beliau juga berkata:
“Dan dibenci pula menyingkat keduanya (shalawat dan salam) dengan satu atau dua huruf sebagaimana orang yang menulis “صلعم”, akan tetapi seharusnya dia menuliskan keduanya dengan sempurna.”

-Selesai maksud perkataan beliau rahimahullah secara ringkas-.
Asy-Syaikh bin Baz kemudian mengatakan:

Dan wasiatku untuk setiap muslim, para pembaca, dan penulis agar hendaknya mencari sesuatu yang afdhal (lebih utama) dan sesuatu yang padanya ada ganjaran dan pahala yang lebih, serta menjauhi hal-hal yang membatalkan atau menguranginya.

Kita memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar memberikan taufiq untuk kita semua kepada sesuatu yang diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah dan Maha Mulia.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه.
(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Al-Imam Ibni Baz, II/397-399)

Diterjemahkan dari: http://sahab.net/home/index.php?Site=News&Show=871

[1] Dalam tulisan Arab, penyingkatan shalawat ini biasanya dengan huruf ص, صلم, atau صلعم.
[2] Dan ini terkadang kita jumpai, seseorang yang membaca singkatan ini (SAW atau SWT dan yang lainnya), dia hanya mengeja huruf-huruf tersebut tanpa melafazhkan shallallahu ‘alaihi wasallam maupun subhanahu wata’ala. Mungkin dia sengaja melakukannya walaupun tahu maksud SAW/SWT, atau bahkan mungkin juga dia tidak tahu maksud singkatan tersebut.

Wallahul Musta’an.

–Ada tambahan ilmu dari komentar http://www.facebook.com/rostiyan di Group Jalan Yang Lurus..

Bismillaah,

Tentang Ucapan صلى ا لله عليه وسلم
…(Shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Di sunnahkan, (sebagian ulama mewajibkannya) mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap kali menyebut atau disebut nama beliau, yaitu dengan ucapan :

صلى ا لله عليه وسلم
“Shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Riwayat-riwayat yang datang tentang ini banyak sekali, diantaranya dari dua hadits shahih di bawah ini :
1. Dari jalan Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata,

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Orang yang bakhil (kikir/pelit) itu ialah orang yang apabila namaku disebut disisinya, kemudian ia tidak bershalawat kepadaku (dengan ucapan-red)
صلى ا لله عليه وسلم (“shallallahu ‘alaihi wa sallam”").
[SHAHIH. Dikeluarkan oleh AT Tirmidzi 5/211, Ahmad 1/201 no 1736, An Nasa-i no 55,56 dan 57, Ibnu Hibban 2388, Al Hakim 1/549, dan Ath Thabraniy 3/137 no 2885.
2. Dari Abu Hurairah, ia berkata,

"Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :" Hina dan rugi serta kecewalah seorang yang disebut namaku disisinya, lalu ia tidak bershalawat kepadaku"".
[SHAHIH. Dikeluarkan oleh Imam At Tirmidzi 5/210, dan Al Hakim 1/549. Dan At Tirmidzi telah menyatakan bahwa hadits ini Hasan].

Hadits ke dua ini, banyak syawaahidnya dari jama’ah para shahabat, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kiatb : At Targhib wat Tarhib” (2/506-510) Imam Al Mundzir, “Jalaa-ul Afhaam (hal 229-240) Ibnu Qayyim, Al Bukhari dalam “Adabul Mufrad” (no 644, 645), Ibnu Khuzaimah (no 1888), Ibnu Hibban (no 2386 dan 2387 – Mawaarid).

APAKAH SHALAWAT NABI BOLEH DISINGKAT MENJADI SAW?
Fatwa Syaikh Wasiyullah Abbas (Ulama Masjidil Haram, pengajar di Ummul Qura)

Soal:
Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan س-… ر- ب. Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb” – pent). Apa hukum masalah ini?

Jawab:
Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula meniyngkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.

Fatwa Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)
Soal: Bolehkah menulis huruf ( صلعم ) yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?

Jawab:
…Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.

Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf shad lam mim ( صلعم ) ,
Penyingkatan Salam dan Shalawat dengan shad lam mim ( صلعم ) (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis. Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.

Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa

Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood

(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa., – Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dariFatwa No.5069)

sumber : www.satucahayahidupku.net

Selasa, 12 April 2011

BERAGAM MANUSIA MENGHADAP ALLOH

Imam Ahmad bin Hambal berkata : “ dan barang siapa yang menghadap Alloh dengan membawa dosa yang mengharuskannya masuk neraka dalam keadaan ia sebagai orang yang telah bertaubat darinya lagi tidak berkelanjutan melakukannya niscaya Alloh akan memberikan taubat kepadanya lagi menerima taubat para hambaNya dan memaafkan segala kekeliruan ” .

Penjelasan : “ ini adalah ragam pertama dari hamba Alloh, ia menghadap Alloh sebagai hamba yang taubat lagi tidak berkelanjutan dengan dosa – dosanya maka Alloh Maha Pemberi taubat lagi Penerima taubat, apapun dosa hambaNya. Alloh berfirman :

{ يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم لا تقنطوا من رحمة الله إن الله يغفر الذنوب جميعا
Artinya : { wahai para hambaku yang berbuat dosa janganlah kalian berputus asa dari rahmat Alloh, sesungguhnya Alloh mengampuni dosa – dosa hamba seluruhnya }.

Dan berfirman :

{ الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون }
Artinya : { adalah orang – orang yang beriman dan tidak mengotori keimanannya dengan kedzoliman apapun bentuknya maka merekalah orang – orang yang mendapat keamanan yang sempurna diakherat dan merekalah orang – orang yang mendapat hidayah }.

Rasululloh juga bersabda :

{ إن الله يقبل توبة عبده ما لم يغرغر } رواه الترمذي من حديث ابن عمر وقال : حسن
Artinya : { sesungguhnya Alloh menerima taubat hambaNya selama ruh belum sampai dikerongkongannya } [ HR. Tirmidzi dari hadis Ibnu Umar, Tirmidzi berkata : hasan ]. Wallohu a’lam ”.

Imam Ahmad selanjutnya berkata : “ dan barang siapa yang menghadap Alloh dalam keadaan telah diberlakukan atasnya hukuman atas dosanya tersebut didunia niscaya hukuman tersebut adalah penghapus dosanya, sebagaimana telah diberitakan oleh rasululloh ”.

Penjelasannya : “ ini adalah ragam kedua dari hamba Alloh, ragam ini diberitakan oleh rasululloh dalam hadisnya usai memaparkan isi baiat aqobah :

{ ومن أصاب من ذلك شيئا فعوقب في الدنيا فهو كفارة له } رواه البخاري ومسلم من حديث عبادة بن الصامت
Artinya : { dan barang siapa yang melanggar isi baiat tersebut lalu diberlakukan sanksinya atasnya didunia maka hal itu menjadi penghapus dosa baginya } HR. Bukhori – Muslim dari Ubadah bin Shomit.

Beliau juga bersabda tentang wanita dari Juhainah yang dirajam sebab berzina :

{ لقد تابت توبة لو قسمت بين سبعين من اهل المدينة لوسعتهم } رواه مسلم من حديث عمران بن حصين
Artinya : { wanita itu benar – benar telah bertaubat dengan satu taubat andaikan dibagikan diantara tujuh puluh penghuni kota Madinah niscaya cukup untuk menghapuskan dosa – dosa mereka } HR. Muslim dari Imron bin Hushoin. Wallohu a’lam ”.

Imam Ahmad melanjutkan perkataanya : “ dan barang siapa yang menghadapNya dalam keadaan terus nekat dengan dosa – dosanya tanpa ia bertaubat darinya padahal dosa – dosanya adalah mengharuskan sanksi atasnya maka perkara hamba ini dikembalikan kepada Alloh, jika Dia menghendaki untuk mengadzabnya maka akan diadzab dan jika menghendaki ampunan baginya maka diampuni ”.

Penjelasannya : “ ini adalah ragam ketiga dari hamba – hamba Alloh, ia menghadapNya dalam keadaan mengantongi sekian dosa – dosa tanpa sempat bertaubat darinya didunia. Ragam ini Alloh telah berfirman tentangnya :

{ ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء }
Artinya : { dan Dia mengampuni siapa yang menghadapNya dalam keadaan membawa dosa selain dari kesyirikan bagi siapa yang Dia kehendaki }.

Rasulullohpun telah bersabda dikelanjutan hadis baiat aqobah :

{ ومن أصاب من ذلك شيئا ثم ستره الله فهو الى الله إن شاء عفا عنه وإن شاء عاقبه }
Artinya : { dan barang siapa yang melanggar isi baiat tersebut namun kemudian Alloh menutupinya hingga menghadapNya maka perkaranya kembali kepada Alloh, jika Dia menghendaki ampunan baginya maka diampuni dan jika Dia menghendaki sanksi atasnya maka dijatuhkan sanksi }.

Inilah letak pembeda antara aqidah salafiyyah ahlus sunnah wal jama’ah dengan ahlul bid’ah dari kalangan khawarij dan mu’tazilah dan semisal mereka dari sekte yang beraqidah bahwa hamba Alloh ragam ketiga ini adalah kafir atau kekal dineraka. Sedang aqidah Ahlus sunnah jika Alloh mengadzab hambaNya yang masuk ragam ketiga ini maka hamba tersebut tidaklah kekal dineraka dan pasti akan dikeluarkan darinya kemudian dimasukkan surga. Wallohu a’lam ”.

Imam Ahmad menutup perkataannya : “ dan barang siapa yang menghadapNya dalam keadaan sebagai orang kafir maka Dia akan mengadzabnya dan tidak akan mengampuninya ”. selesai dari Ushulus Sunnah karya Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hambal Syaibany riwayat Abdoos al Athor tahqiq syaikh Albani rahimallohul jami’.

Penjelasan : “ ini adalah ragam terakhir dari hamba Alloh, tentang ragam ini Alloh berfirman :

{ إن الله لا يغفر أن يشرك به } الآية
Artinya : { sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni hambaNya yang menghadapnya dalam keadaan sebagai orang musyrik }. Juga firmanNya :

{ ومن يرتدد منكم عن دينه فيمت وهو كافر فأولئك حبطت أعمالهم في الدنيا والآخرة وأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون }
Artinya : { dan barang siapa diantara kalian yang murtad dari diennya lalu ia mati sebagai orang kafir maka mereka itulah orang yang gugur amalan mereka didunia maupun diakherat dan mereka adalah para penghuni neraka, mereka kekal didalamnya }.

Rasululloh bersabda :

{ لا يدخل الجنة إلا نفس مؤمنة } حديث صحيح
Artinya : { bahwa tidak akan masuk surga melainkan jiwa mukmin }HR. Bukhori – Muslim

Perkampungan itu ada tiga, kampung yang berisikan kejelekan dan kejahatan semata yaitu neraka, perkampungan yang berisikan kebaikan dan kejelekan maka itu adalah dunia dan perkampungan yang berisikan kebaikan semata adalah surga. Wallohu a’lam ”.

penulis : ust. Abu Unaisah Jabir

sumber : www.manarussunnah.blogspot.com

SERIAL FAWAID USHULIYYAH

Faedah ke I :
Penerapan Kaedah – Kaedah Ushul Dalam Kajian Hadis

HADIS KE 1 : HUKUM SHOLAT

عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : { خمس صلوات كتبهن الله على العباد ، فمن جاء بهن لم يضيع منهن شيئًا استخفافًا بحقهن كان له عند الله عهد أن يدخله الجنة ومن لم يأت بهن فليس له عند الله ، إن شاء عذَّبه وإن شاء أدخله الجنة }
Berikut adalah penerapan sederhana nan singkat kaedah – kaedah ushul fiqih terhadap hadis Ubadah bin as Shomit diatas wabillahit taufiq :
Kajian terhadap hadis ini menurut kaedah ushul dari dua sisi sbb

Sisi Pertama : Derajat keshohihan hadist

Sisi ini didahulukan atas dasar kaedah ( istimbat hukum adalah cabang dari keshohihan dalil ) dimana kaedah ini merupakan cabang dari kaedah besar dalam islam ( asal ibadah adalah haram kecuali ada dalil ) . Maka kajian sisi pertama adalah sebagai berikut : Hadis ini dengan lafadz tersebut diriwayatkan oleh Malik dalam al Muwatho’ 1 / 254 – 255 dan Ahmad dalam al Musnad 5 / 315 keduanya dari jalan Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Yahya bin Habban dari Ibnu Muhairiz bahwa seseorang dari Kinanah yang dipanggil dengan sebutan al Makhdajiy dari Ubadah bin as Shomit . Kemudian hadis dengan lafadz tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan 2 / 62 serta an Nasa’iy 1 / 186 keduanya dari jalan Malik dst . Al Makhdajiy yang disebut dalam sanad diatas adalah seorang rowi yang majhul menurut Ibnu Abdul Barr,[1] menurut kaedah bahwa ( jahalah seorang rowi berdampak pada lemahnya hadis ) hal ini sebab rowi yang majhul memiliki cacat yaitu ( tidak dikenalinya kesholihan serta tingkat hapalannya ) maka dapat dinyatakan bahwa hadis ini dengan sanad tersebut adalah lemah sementara dalam kaedah dinyatakan ( hadis yang lemah tidak dapat dipakai sebagai dalil dalam aqidah dan hukum ) namun kaedah ini tidak mutlak demikian dimana jika kelemahan hadis tidak fatal seperti yang sedang kita kaji ini maka kaedahnya ( hadis yang lemah dengan kelemahan yang tidak fatal maka tidak dapat dipakai sebagai dalil sehingga didapati ada pendukung yang mengangkat lemahnya hadis tersebut ) . Keadaan hadis ini demikian yaitu ada sanad lain yang mungkin akan mengangkat kelemahannya kepada tingkatan diterima, sanad tersebut adalah sbb : diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad 5 / 317 dan Abu Dawud 1 / 115 keduanya dari jalan Muhammad bin Muthorrif dari Zaid bin Aslam dari Atho bin Yasar dari Abdulloh as Sunabihiy bahwa Ubadah bin as Shomit berkata dst dengan lafadz yang berdekatan dengan lafadz diatas meski ada beberapa perbedaan yang tidak saling kontradiktif . Kita dapati bahwa sanad ini shohih didalamnya juga ada pendukung dari Abdulloh as Sunabihiy bagi al Makhdajiy maka berdasar kaedah ( hadis lemah yang tidak fatal kelemahannya menjadi diterima dengan berbilangnya jalan ) hadis Ubadah diatas adalah dapat diterima dari lemah menjadi hasan lighorihi bahkan secara umum hadis Ubadah ini adalah hasan atau shohih . Adapun kontradiktif lafadz meskipun kaedah menyatakan ( kontradiktif lafadz – lafadz satu hadis berdampak lemahnya hadis ) namun dalam kasus yang ada bersama kita adalah mengikut kaedah ( kontradiktif lafadz – lafadz satu hadis yang tidak saling bertentangan tetapi saling menafsirkan satu dengan yang lainnya tidak berdampak lemahnya hadis tersebut ) . Oleh karenanya tak heran jika beberapa ulama besar pakar hadis menshohihkan hadis ini semisal Muhammad bin Nashr dalam Ta’dzim Qodr sholat ( 968 – 971 ) bahkan beliau memaparkan banyak jalan yang saling mendukung bagi hadis ini dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah seperti dalam al Fatawa ( 22 / 49 ) juga dishohihkan oleh as Syaikh al Albaniy dan as Syaikh Muqbil rohimahumulloh .

Kajian sisi kedua, hukum – hukum yang dapat diambil dari hadis diantaranya sbb :

1. hadis tersebut adalah dalil wajibnya sholat yang lima, hukum ini diambil dari { خمس صلوات كتبهن الله على العباد } sisi pendalilan wajib dari lafadz { كتب ... على } dalam kaedah bahwa ( lafadz ini menunjukkan wajib ) adapun sisi pendalilan sholat yang lima adalah dari { خمس صلوات } apakah selain sholat yang lima tidak ada lagi sholat wajib yang lain ? khilaf dikalangan ulama kepada dua pendapat yaitu pendapat pertama tidak ada lagi selain sholat yang lima sholat wajib dalil mereka diantaranya hadis ini sisi pendalilannya memakai kaedah ( mafhum mukholafah ) yaitu jika yang ditentukan oleh syari’ adalah lima maka mafhumnya selain lima tidak ada terkena hukum wajib . Pendapat kedua menyatakan ada sholat wajib selain yang lima namun mereka khilaf dalam satu persatunya, mereka berdalil dengan banyak argument dan mereka menjawab pendalilan pendapat pertama dengan hadis ini dan semisalnya dengan dua jawaban ; pertama bahwa mafhum mukholafah disini adalah jenis mafhum bilangan sementara kaedah menyatakan ( mafhum bilangan tidak dianggap hujjah ) yaitu penentuan bilangan lima bukan berarti selain yang lima yang tidak disebut tidak terkena hukum wajib . Kedua ada kemungkinan hadis ini didengar oleh rawi dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam diawal masa pensyariatan sebagaimana dimaklumi Ubadah termasuk yang ikut baiat aqobah dengan demikian hadis ini tidak menutup kemungkinan bertambahnya kewajiban, hal ini sesuai kaedah ( pensyareatan dizaman wahyu menerima pembaharuan baik perubahan atau penambahan ) .

2. hadis ini dijadikan dalil akan wajibnya sholat yang lima secara berjamaah atas kaum muslimin, hukum berjamaah diambil dari { على العباد } sisi pendalilan bahwa { العباد } lafadz jama’ ( plural ) yang dalam kaedah ( lafadz jama’ terkandung arti jamaah ) atau ( kewajiban yang dikaitkan kepada lafadz jama’ berarti dituntut adanya jama’ah padanya ) ini merupakan pendapat sebagian ulama . Apakah berjamaah menjadi syarat sah sholat yang lima ataukah sekedar wajib yang tidak sampai tingkat syarat sah ? khilaf dikalangan ulama yang menyatakan wajib jamaah . Adapun hukum kaum muslimin diambil dari { ال } untuk ma’rifah yang berfungsi al ‘ahd ( tercatat ) yang dalam kaedah ( ال al ‘ahd tidak berfungsi umum ) yaitu khusus para hamba yang tergolong dalam penghambaan yang tercatat / teranggap dalam syariat yang mereka adalah kaum muslimin, adapun selain mereka maka masuk dalam jenis penghambaan umum yang tidak dituntut oleh syareat maka mereka tida terbebani kewajiban sholat kecuali sesudah masuk islam .

3. Hadis ini dalil akan wajibnya pelaksanaan sholat dengan sempurna syarat, rukun maupun wajibat, hukum ini diambil dari { فمن جاء بهن لم يضيع منهن شيئا استخفافا بحقهن كان له عهد عند الله أن يدخله الجنة } sisi pendalilannya bahwa kebaikan Alloh dengan dimasukkannya orang yang sholat kedalam surga adalah digantungkan pada sebab yaitu tidak menelantarkan hak – hak sholat sedikitpun . Hal ini sesuai kaedah ( jatuhnya hukum – hukum digantungkan kepada terpenuhi atau tidaknya sebab ) atau ( ibadah yang diikat dengan syarat maka tidak gugur dari tuntutan hingga terpenuhi syarat ) .

4. Hadis ini dijadikan dalil akan tidak kafirnya orang yang meninggalkan sholat diambil dari { ومن لم يأت بهن فليس له عهد عند الله إن شاء عذبه وإن شاء أدخله الجنة } sisi pendalilannya tekstual hadis menyatakan bahwa yang meninggalkan sholat yang lima hukumnya diakherat adalah dibawah kehendak Alloh antara diadzab atau dimasukkan surga artinya dia tidak kafir sebab kafir tidak berada dibawah kehendak namun diakherat pasti diadzab yang abadi . Hal ini sesuai kaedah ( pada asalnya dalil dibawa kepada makna dzohir ( tekstual ) nya ) . Jika telah dipahami maka ketahuilah ! Masalah hukum meninggalkan sholat adalah khilaf dikalangan ulama ( setelah sebelumnya ada hikayat ijma’ dari kalangan sahabat ) kepada dua pendapat ; pertama bukan kekufuran namun hanyalah dosa besar dibawah kekufuran . kedua adalah kekufuran yang mengeluarkan pelakunya dari islam . Diantara dalil ulama yang memilih pendapat pertama adalah hadis diatas dengan sisi pendalilan yang telah disebutkan namun sisi pendalilan ini dijawab oleh ulama yang mengikut pendapat kedua dengan beberapa jawaban : bahwa lafadz dzohir { ومن لم يأت بهن } diatas adalah mutlaq sementara didapati lafadz muqoyyad dalam riwayat –riwayat hadis diatas dan kaedah menyatakan ( jika didapati lafadz mutlaq dan muqoyyad pada hukum yang satu maka mutlaq dibawa kepada muqoyyad ) lafadz muqoyyad tersebut adalah :

{ ومن جاء بهن وقد انتقص من حقهن شيئا جاء وليس له عند الله عهد ، إن شاء عذبه
وإن شاء رحم }
Lafadz tersebut diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr dalam Ta’dzimnya dari jalan Muhammad bin Amr dari Muhammad bin Yahya bin Habban dari Ibnu Muhairiz dari al Makhdajiy dari Ubadah bin as Shomit rodhiyallohu ‘anhu . Sisi muqoyyadnya lafadz ini adalah orang yang berada dibawah kehendak Alloh antara adzab atau surga adalah yang mengerjakan sholat namun meninggalkan kesempurnaan hak – hak sholatnya .

Jawaban kedua, berdasar kaedah ( lafadz peniadaan secara tekstual namun maksudnya adalah peniadaan kesempurnaan ) penerapannya bahwa meskipun secara tekstual lafadz diatas adalah peniadaan mengerjakan sholat yang lima secara mutlak namun yang diinginkan adalah peniadaan kesempurnaan didalam pelaksanaan sholat yang lima dimana ia mengerjakannya namun tidak secara sempurna ditunaikan hak – haknya .

Jawaban ketiga, jika kedua lafadz tersebut dibawa kepada makna tekstualnya masing – masing maka lafadz ini masuk jenis hadis yang goncang secara konteks hadis, dimana seorang rowi ( al Makhdajiy ) yang majhul hal telah meriwayatkan lafadz hadis ini dari Ubadah secara goncang sebab kedua lafadz diatas adalah dari jalan yang bersumber darinya . Jika demikian adanya maka kaedah menyatakan ( kegoncangan dalam hadis baik sanad maupun konteksnya berdampak pada lemahnya hadis sehingga didapati factor lain yang mendukung salah satunya ) dan ( lemahnya hadis berdampak pada tidak pantasnya hadis tersebut dijadikan dalil ) apabila melihat lafadz – lafadz hadis Ubadah dengan sanad – sanad yang lain yang lebih kuat dibanding sanad al Makhdajiy seperti yang dipaparkan oleh Ibnu Nashr dalam Ta’dzimnya ( 967 – 971 ) maka dukungan memihak lafadz kedua . Dari melihat jawaban – jawaban ulama yang merojihkan pendapat kedua dalam kajian hadis ini maka kami mengikuti mereka yaitu bahwa yang benar hadis Ubadah ini adalah dalil hukum meninggalkan sholat adalah kekufuran yang mengeluarkan dari islam, terlebih lagi ditinjau dari sisi mafhum dalam kaedah ( mafhum mukholafah dapat dipakai sebagai hujjah ) yaitu jika yang berada dibawah kehendak Alloh adalah yang melaksanakan sholat yang lima secara tidak sempurna hak – hak sholatnya maka mafhumnya yang tidak sholat sama sekali / meninggalkan sholat dia diakherat tidak dibawah kehendak Alloh .

والله أعلم وصلى الله على محمد وآله وسلم والحمد لله .

[1] Bahkan Ibnu Hajar al hafidz dalam taqrib menyatakan maqbul ( diterima dengan syarat ada pendukung ) adz Dzahabiy menyatakan wutsiq ( isyarat ada kelemahan pada dirinya ) namun ia dinilai tsiqoh ( terpercaya ) oleh Ibnu Hibban sehingga dimasukkan dalam barisan kitab Tsiqot . Melihat komentar sebagian hufadz diatas maka komentar Ibnu Abdil Barr lah yang kami rasa tepat . wallohu a’lam

Penulis : Ust. Abu Unaisah Jabir

sumber : www.manarussunnah.blogspot.com

Senin, 11 April 2011

MANHAJ SALAFY : TEGAS TERHADAP PENGEKOR KESESATAN

Berkata al Imam Ibnu Abi Zamanin al Andalusiy rohimahulloh : “ Ahlus Sunnah masih senantiasa menyingkap aib – aib para pengekor bid’ah yang menyesatkan, mereka melarang dari bermajelis dengan mereka, mereka juga menakut – nakuti manusia dari fitnah mereka, mereka juga memberitakan kepada manusia penyelisihan mereka terhadap kebenaran, mereka tidak menilai bahwa hal – hal tersebut sebagai gunjingan atas mereka, tidak pula sebagai celaan atas mereka ”.[ Kitab Ushulus Sunnah Libni Abi Zamanin ( 224 ) ]
Berkata al Imam Abu Muhammad al Barbahariy rohimahulloh : “ Jika kamu melihat sekilas bid’ah dari seseorang maka berhati – hatilah darinya, sebab bid’ah yang tersembunyi dalam dirinya dari pandanganmu tentu lebih banyak dibandingkan yang nampak !”.[ Syarhus Sunnah (28) ]
Beliau juga berkata : “ Sufyan ats Tsauriy berkata : barang siapa mengarahkan pendengarannya kepada pemilik bid’ah niscaya dia telah keluar dari penjagaan Alloh dan diserahkan kepada bid’ah tersebut. Fudhail bin Iyadh berkata : barang siapa yang bermajelis dengan pemilik bid’ah maka dia tidak akan diberi hikmah. Beliau juga berkata : jangan kamu bermajelis dengan pemilik bid’ah sebab aku khawatir akan turun kepadamu laknat ! ”.[ Syarhus Sunnah (31) ]
Berkata Syaikhul Islam Abu Utsman ash Shobuniy rohimahulloh : “ Ahlul Hadits, mereka membenci ahli bid’ah yaitu orang – orang yang membuat perkara baru dalam dien dari perkara yang bukan termasuk dien, Ahlul Hadits tidak menyukai mereka, tidak berkawan dengan mereka, tidak menyimak ucapan mereka, tidak bermajelis dengan mereka dan tidak mendebat mereka dalam perkara – perkara dien ”.[ Aqidatus Salaf (82) ].
Perhatikanlah rohimakumulloh ! bagaimana para imam menegaskan manhaj Salaf dalam bersikap terhadap ahlil bida’ para pengekor nafsu. Bahkan manhaj diatas adalah perkara yang telah disepakati.
Berkata al Imam al Baghowiy rohimahulloh : “ Para sahabat, para tabi’in dan pengikut mereka serta para ulama sunnah mereka berjalan diatas hal ini, mereka bersepakat untuk memusuhi ahli bid’ah dan untuk memboikot mereka ”.[ Syarhus Sunnah (1/227) lihat Manhaj Ahlus Sunnah Fie Naqdir Rijal ]
Tiadalah para salaf yang sholih merasa berat hati dari mendengar celaan terhadap bid’ah dan ahli bid’ah, tidak pula sempit hati. Para Salaf yang sholih mereka cerdas akan akibat buruk dari bid’ah dan ahli bid’ah.
Berkata al Imam Mujahid rohimahulloh : “ Aku tidak mengerti, manakah ni’mat yang lebih besar bagiku dari dua ni’mat ini yaitu aku mendapat hidayah kepada Islam ataukah aku diselamatkan dari berbagai bid’ah ”.
Berkata al Imam Abul ‘Aliyah rohimahulloh : “ Aku tidak mengerti, manakah ni’mat terbesar bagiku dari dua ni’mat ini yaitu ni’mat selamat dari syirik atau ni’mat diselamatkan dari bid’ah khowarij ”. [ keduanya diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Zamanin (233) ]
Bagaimana tidak rohimakumulloh ! inilah bahaya bid’ah yang para salaf telah selamat darinya, simaklah !
Berkata al Imam Muhammad bin Wadhoh rohimahulloh dengan sanadnya sampai kepada al Imam Hasan al Bashriy rohimahulloh katanya : “ Jangan kamu bermajelis dengan ahli bid’ah sebab ia akan membuat hatimu berpenyakit !”.[ kitab Tahdzir Min Ahlil Bida’ (28) ]
Beliau juga meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada al Imam Abu Qilabah rohimahulloh, katanya : “ Jangan kalian bermajelis dengan para pengekor bid’ah dan jangan pula kalian berdebat dengan mereka ! sebab sesungguhnya aku meresa khawatir mereka akan menenggelamkan kalian dalam kesesatan mereka atau mereka merancukan kebenaran yang telah kalian ketahui ”.[ Tahdzir (29) ]
Berkata al Imam Abu Muhammad al Barbahariy rohimahulloh : “ Ketahuilah ! bahwa bid’ah – bid’ah seluruhnya adalah hina, seluruhnya menyeru kepada pedang namun yang paling hina serta paling kufur adalah rowafidh, mu’tazilah dan jahmiyyah sebab mereka menginginkan agar manusia berada diatas ajaran mengingkari sifat – sifat Alloh dan kezindikan ”.[ Syarhus Sunnah (28) ]
Berkata Syaikhul Islam Abu Utsman rohimahulloh : “ Ahlul Hadits berpandangan untuk menjaga pendengaran mereka dari kebatilan – kebatilan ahli bida’ yang jika kebatilan – kebatilan tersebut lewat dalam telinga – telinga niscaya ia akan menancap dalam hati kemudian mengalirlah kedalam hati tersebut berbagai was – was serta bisikan – bisikan yang merusak dien seseorang ”.[ Aqidatus Salaf (82)]
Padahal rohimakumulloh ! setiap bid’ah adalah memiliki dampak khusus yang buruk bagi Islam dan umat Islam, perkara yang panjang untuk dipaparkan disini, namun cukuplah bagi yang memiliki kewaspadaan terhadap Islam untuk lapang dada menerima manhaj Salaf dalam menyikapi bid’ah dan pengekornya, jangan ia sempit dada atau bahkan sibuk berfikir menyiapkan kaedah – kaedah baru yang ( sadar atau tidak ) melindungi & membela para pengekor bid’ah, wallohul musta’an.

Al Imam Ibnu Wadhoh rohimahulloh meriwayatkan sebuah atsar : “ Barang siapa yang memberikan tempat kepada ahlul bi’ah maka berarti ia telah membantunya dalam menghancurkan Islam ”.[ Tahdzir (29) ]

Penulis : Ust. Abu Unaisah Jabir

sumber : www.manarussunnah.blogspot.com

KEPADA SIAPA KITA MENGAMBIL ILMU ?

Berkata Al-Imam Muhammad bin Sirin, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Beliau juga berkata :
“Dahulu mereka tidak menanyakan tentang sanad, maka tatkala fitnah telah terjadi, mereka pun berkata: ‘Sebutkanlah rawi-rawi kalian kepada kami, maka diperiksalah, bila berasal dari kalangan ahlus sunnah maka diambil haditsnya dan bila berasal dari ahlul bid’ah maka tidak diambil haditsnya.” (Kedua atsar di atas diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya).
Tatkala sebagian dari orang yang bertaubat (kepada jalan salaf) lalai untuk mengetahui prinsip-prinsip dasar dan ketentuan-ketentuan tersebut, akhirnya merekapun menjadi lahan/ santapan syubhat¬syubhat dan menjadi tempat permainan kebanyakan orang yang mengaku berilmu dan bermanhaj salaf.
Maka tidaklah datang seorang yang mengaku berilmu atau menampakkan punya hubungan dengan ulama besar Ahlus Sunnah, kecuali engkau akan menemukan para pemuda yang bertaubat akan berkumpul disekelilingnya tanpa meneliti hakikat orang itu dan tanpa memeriksa riwayat hidupnya. Dan jika orang tersebut melihat bahwa pengikut-pengikutnya semakin banyak, dan para pencintanya semakin tergila-gila padanya, maka mulailah dia menampakkan apa yang selama ini disembunyikannya dan menjadi tujuannya. Kemudian engkau akan melihatnya meneriakkan imarah dalam dakwah atau mendirikan kemah tajammu’iyyah dan selainnya dari hal-hal yang menyelisihi prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamä’ah.

Ketika itulah orang-orang yang ingin bertaubat kembali pada manhaj salaf mulai guncang, dan terbagilah mereka menjadi dua atau tiga bagian; Ada yang mendukung, yang menentang, dan ada yang menyimpang.
Dan kegoncangan ini hanyalah terjadi karena dua perkara :
Pertama:
Bahwa orang-orang yang bertaubat tidak menekuni ilmu yang bermanfaat, terutama ilmu tentang prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamä’ah. Hal tersebut karena ilmu adalah pelindung dari berbagai ketergeliciran.
Tidak engkau memperhatikan bagaimana ilmu itu dapat menjaga Abu Bakrah radhiyallähu ‘anhu pada perang Jamal, tatkala mereka memajukan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallähu ‘anha (sebagai pemimpin -pent). Maka Abu Bakrah telah dijaga oleh sebuah hadits yang pernah dia dengarnya dari Rasululläh shollallähu ‘alahi wa ‘alä älihi wa sallam, dimana beliau ‘alaihish sholätu was salam bersabda tatkala datang kepada beliau berita kematian Raja Kisra dan penetapan putrinya (sebagai penggantinya), beliau bersabda :
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang nenyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan.”
Maka tatkala terjadi fitnah tersebut, teringatlah Abu Bakrah akan hadits ini, yang akhirnya menjaganya dari fitnah tersebut, dimana Abu Bakrah berkata :
عَصَمَنِيَ اللهُ بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى قَالَ مَنِ اسْتَخْلَفُوْا قَالُوْا : ابْنَتَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ : لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً قَالَ فَلَمَّا قَدِمَتْ عَائِشَةُ تَعْنِيْ الْبَصْرَةَ ذَكَرَتُ قَوْلَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَعَصَمَنِيَ اللهُ بِهِ
“Alläh telah melindungiku dengan sesuatu yang telah aku dengar dari Rasululläh shollallähu ‘alahi wa ‘alä älihi wa sallam saat kematian Kisra, beliau bertanya : “Siapa yang mereka angkat sebagai gantinya”, kata mereka : “Putrinya”. Maka Nabi shollallähu ‘alahi wa ‘alä älihi wa sallam bersabda : “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan.’
Kemudian Abu Bakrah berkata : “Maka tatkala ‘Aisyah tiba di Bashrah, akupun teringat sabda Rasululläh shollallähu ‘alahi wa ‘alä älihi wa sallam sehingga Alläh melindungiku dengannya.” (HR. Al-Bukhäri (7099), An-Nasä`i (5403), dan At-Tirmidzy (2365), dan konteks hadits diatas adalah konteks beliau)

Kedua:
Tidak merujuk kepada para ulama. Padahal yang sepantasnya adalah bertanya kepada ulama dan para penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamä’ah, (mereka) yang punya pengetahuan tentang orang yang akan diambil faidah darinya, maka ditanyakan tentang orang tersebut :
Apakah ia termasuk penuntut ilmu yang bermanhaj salaf atau bukan?
Apakah ia telah belajar dengan bentuk studi ilmiyah yang benar, dimana telah pantas menuntut ilmu darinya atau tidak?
Maka bila jawabannya “tidak”, maka perkaranya selesai, walhamdulilläh. (artinya orang tersebut ditinggalkan,-pent.).
Dan bila jawabannya positif, maka tentunya dapat diambil faedah darinya tetapi dengan tidak berlebih-lebihan padanya, melainkan menempatkannya pada kedudukan dan martabatnya.

Dan disini ada point yang sangat penting, yaitu membedakan antara para ulama rabbany yang merupakan acuan ilmiyah dan acuan dalam masalah-masalah kontemporer, seperti Al-Imam Muhammad Näshirudïn Al-Albäni dan Al-Imam Abdul ‘Azïz bin Abdulläh bin Bäz –semoga Alläh merahmati keduanya-, dan ulama-ulama rabbany yang masih tersisa seperti syaikh Muhammad bin Sholïh Al-Utsaimïn, syaikh Sholïh bin Fauzän Al-Fauzän, syaikh Robï’ bin Hädy Al-Madkhaly, syaikhunä Muqbil bin Hädy A1-Wädi’iy dan selain mereka dari para ‘ulama yang selevel dengan mereka dari kalangan ahli ‘ilmu dan ahli fatwa, Ahlus Sunnah wal Jamä’ah. Dimana mereka ini, memiliki tingkatan dan kedudukan (tersendiri), dengan para penuntut ilmu yang menonjol, diketahui tingkat keilmuannya, telah nampak teguhnya mereka diatas sunnah melalui kitab-kitab karya mereka dan rekomendasi para ulama rabbany terhadap mereka. Maka untuk mereka ini, tingkatan dan kedudukan (tersendiri).

Serta dengan para penuntut ilmu yang berada di bawah tingkatan mereka, yang diketahui kesalafian mereka dan kemampuan mereka dalam memberikan pelajaran.

sumber : www.al-atsariyyah.com

[Dikutip dari buku 'Wasiat Berharga Bagi yang Kembali ke Manhaj Salaf' wasiat keempat]

Selasa, 05 April 2011

KEMBALI KEPADA ULAMA YANG MEMILIKI ILMU YANG KOKOH MERUPAKAN PRINSIP SALAFY YANG AGUNG

Ditulis oleh Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul Hafizhahulloh
Senin, 14 Maret 2011 06:06

Allah Ta'ala berfirman:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya mengetahuinya dari mereka . Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja . (QS.An-Nisaa:83)

Berkata As'Sa'di rahimahullah:

"Dalam ayat ini terdapat dalil berupa satu kaedah adab yaitu jika terjadi satu pembahasan dalam satu perkara , sepantasnya diserahkan kepada orang yang memiliki keahlian dalam perkara tersebut, jangan mendahului mereka, sebab hal itu lebih mendekati kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Juga terdapat larangan dari sikap terburu-buru untuk menyebarkan berita tentang sesuatu pada saat dia mendengarkannya, dan ia diperintahkan untuk memperhatikannya sebelum dia mengucapkan dan memandangnya, apakah ini merupakan kemaslahatan sehingga seseorang boleh melakukannya ataukah dia harus menahan diri darinya?"

(Taisir al-kariim ar-rahman: 190)

Ada sebagian manusia yang merendahkan ilmu dan para ulama sehingga dia tidak mengetahui kadar ilmu dan hak para ulama, dia menyangka bahwa ilmu adalah memperbanyak ucapan, menghiasi ucapannya dengan berbagai kisah, syair2, dan memperbanyak pembahasan nasehat dan masalah hati. Diantara manusia ada yang menyangka bahwa ulama adalah tokoh-tokoh yang menyibukkan diri dalam berbagai kejadian, lalu membahasnya dengan apa yang mereka sebut "fiqhul waqi'" untuk membuat perlawanan kepada para penguasa dengan tanpa bimbingan dan ilmu. Diantara manusia ada yang menganggap bahwa ilmu hanyalah ada di dalam kitab-kitab, dia tidak memperhatikan hakekat bahwa ilmu adalah penukilan dan pemahaman,dan pemahaman tersebut dinilai berdasarkan apa yang difahami oleh generasi awal dari kalangan para sahabat, tabi'in dan yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Sehingga diapun meninggalkan kesibukan menuntut ilmu dan duduk di halaqah ilmu dan para ulama.Dia tidak mengetahui bahwa diantara ilmu ada beberapa pintu yang dia tidak akan meraihnya kecuali dengan berhadapan langsung dengan para ulama dan mengambilnya dari mereka."

Sifat seorang alim adalah yang terpenuhi beberapa perkara berikut:

1-berilmu tentang al-kitab dan as-sunnah

2- mengikuti apa yang terdapat dalam al-kitab dan as-sunnah

3- mengikat pemahaman terhadap al-kitab dan as-sunnah dengan pemahaman salafus saleh

4- komitmen diatas ketaatan dan jauh dari perbuatan kefasikan, kemaksiatan dan dosa.

5- jauh dari perbuata bid'ah, kesesatan, dan kebodohan, dan memperingatkan darinya.

6- mengembalikan perkara yang mutasyabih (samar) kepada yang muhkam (jelas dan gamblang) dan tidak mengikuti mutasyabih.

7- tunduk kepada perintah Allah

8- mereka memiliki keahlian dalam istinbat ( mengeluarkan faedah dari dalil) dan pemahaman yang baik."

(Lihat: mu'malatul 'Ulama: 11-28, karya Muhammad Bazemul)

Berkata Ibnu Sahman dalam "minhaj ahlil ittiba':24:

العجب كل العجب ممن يصغي ويأخذ بأقوال أناس ليسوا بعلماء ولا قرؤوا على أحد من المشايخ فيحسنون الظن بهم فيما يقولونه وينقلونه ويسيئون الظن بهم بمشايخ أهل الإسلام وعلماءهم الذين هم أعلم منهم بكلام أهل العلم وليس لهم غرض في الناس إلا هدايتهم وإرشادهم إلى الحق الذي كان عليه رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم وأصحابه وسلف الأمة وأئمتها

أما هؤلاء المتعالمون الجهال فكثير منهم خصوصا من لم يتخرج على العلماء منهم وإن دعوا الناس إلى الحق ف‘نما يدعون إلى أنفسهم ليصرفوا وجوه الناس إليهم طلبا للجاه والشرف والترؤس على الناس فإذا سئلوا أفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
"Sungguh mengherankan orang yang menyimak dan mengambil pendapat sebagian orang yang mereka bukanlah ulama, dan tidak pernah membaca kepada seseorang dari para syaikh , lalu dia berbaik sangka kepadanya terhadap apa yang mereka katakan dan yang mereka nukilkan, lalu mereka berburuk sangka kepada para syaikh kaum muslimin dan ulamanya yang mereka lebih mengerti tentang ucapan para ulama, dan mereka tidak punya tujuan tertentu selain membimbing manusia dan mengarahkan mereka kepada kebenaran yang telah dijalan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya, dan para pendahulu umat ini dan para imamnya. Adapun mereka yang sok menjadi alim padahal mereka jahil, kebanyakan mereka -lebih terkhusus lagi yang tidak pernah belajar kepada para ulama - jika mereka mengajak kepada kebenaran, pada hakekatnya mereka hanyalah mengajak kepada diri mereka sendiri untuk memalingkan wajah-wajah manusia kepadanya karena mengharapkan pangkat, kedudukan, kepemimpinan manusia, sehingga tatkala mereka ditanya,maka mereka berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan."

(Dari kitab: Shiyanatus salafi min waswasati Ali Al-Halabi:18- 19)

sumber : www.salafybpp.com/manhaj-salaf

KAJIAN KHUSUS TENTANG KAEDAH-KAEDAH HAJR (BAG. 3)

Dibaca: 273 kali. Ditulis oleh Fadhilatus Syaikh : Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhari Hafizhahullah Ta’ala
Rabu, 23 Maret 2011 09:58

BAGIAN KEDUA : HAJR YANG DISYARI’ATKAN

Telah dijelaskan pada bagian pertama bahwa diantara jenis hajr ada yang terlarang. Dengan memperhatikan nash- nash dua wahyu (al-kitab dan as-sunnah), ucapan para sahabat, dan perbuatan ulama salaf, kita mendapati bahwa disana ada satu jenis hajr yang disyari’atkan, dan memiliki tujuan- tujuan yang sangat agung.

Oleh karenanya, mungkin dapat dikatakan seperti yang disebutkan oleh sebagian ulama seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar[1], dan yang lainnya[2]: bahwa jenis pertama merupakan hajr umum yang telah dikhususkan.

Termasuk jenis ini, yaitu hajr yang disyari’atkan: seseorang menghajr istrinya, orang tua menghajr anaknya, menghajr ahli bid’ah, pelaku maksiat, dan yang menampakkannya, dan yang semisalnya.

Berkata Imam Abu Dawud dalam sunannya[3]: “Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menghajr sebagian istrinya 40 hari, Ibnu Umar menghajr anaknya sendiri sampai Beliau meninggal.” Selesai penukilan dari Beliau rahimahullah.

Berkata Al-Allamah Ibnu Muflih rahimahullah dalam Al-Aadaab Asy-Syar’iyah[4] :

“Disunnahkan menghajr pelaku maksiat yang melakukannya dengan terang-terangan baik dengan perbuatan, ucapan atau keyakinannya.” Lalu Beliau menyebutkan pasal :

“Pasal: tentang menghajr orang kafir, fasiq, ahli bid’ah yang menyeru kepada bid’ahnya yang menyesatkan.”[5], dan yang lainnya.

Diantara dalil-dalil yang menunjukkan masalah dan jenis ini adalah firman Allah Azza Wajalla dalam kitab-Nya yang mulia:

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.” (QS.Huud:113)

Berkata Al-Allamah Al-Qurthubi rahimahullah dalam Al-jami’[6] dalam menjelaskan makna ayat dan yang benar dalam memahami ayat tersebut:

“Ayat ini menunjukkan dihajr-nya orang- orang kafir, pelaku maksiat dari kalangan ahli bid’ah dan selain mereka, karena sesungguhnya bersahabat dengan mereka ada kalanya kekufuran atau kemaksiatan, sebab persahabatan itu tidaklah terjalin melain karena kecintaan.”

Allah Azza Wajalla juga berfirman :

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa , maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat.” (QS.Al-An’am:68)

Berkata Imam Ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya[7]:

“dalam ayat ini terdapat dalil yang jelas tentang larangan duduk bersama dengan ahlul bathil dari berbagai jenis, ahli bid’ah, orang fasik, tatkala mereka tenggelam dalam kebatilannya.”

Akan disebutkan pula nanti beberapa ayat yang menguatkan ayat- ayat tersebut diatas, tatkala kami berbicara tentang tujuan- tujuan syar’I diberlakukannya hajr.

Adapun dari sunnah –wahai orang- oarng yang aku cintai-, maka dalil- dalilnya banyak. Asal dari dalil tersebut adalah hadits tiga orang yang tertinggal dari perang Tabuk, hadits tersebut terdapat dalam dua shahih[8] dari hadits Ka’ab bin Malik radhiallahu anhu. Dalam hadits itu, Ka’ab berkata:

“Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melarang (kaum muslimin) untuk berbicara dengan kami tiga orang yang tidak berangkat. Maka manusia pun menjauhi kami dan mereka menampakkan perubahan terhadap kami hingga aku merasakan pada diriku bahwa aku tidak tinggal di bumi yang aku ketahui selama ini. Kami merasakan itu selama 50 malam.” Dan kisahnya panjang sekali.

Berkata Imam Ath-Thabari rahimahullah :

“Kisah Ka’ab bin Malik merupakan asal dalam menghajr pelaku maksiat.”[9]

Berkata Imam Al-Baghawi rahimahullah Ta’ala dalam syarhus sunnah[10] tatkala memberi komentar riwayat ini:

“terdapat dalil menghajr ahli bid’ah selama- lamanya.”

Saya berkata: Imam Bukhari menyebutkan bab dalam shahihnya dalam kitab al-adab, bab: apa yang dibolehkan dari menghajr pelaku maksiat[11], lalu Beliau menyebutkan potongan hadits Ka’ab.

Berkata Al-Hafizh dalam Al-Fath: “yang diinginkan dari judul bab ini adalah: menjelaskan tentang hajr yang boleh, sebab keumuman larang hajr dikhususkan terhadap orang yang dihajr tanpa sebab yang syar’I, maka dijelaskan disini sebab yang membolehkan untuk melakukan hajr, yaitu bagi orang yang melakukan maksiat, maka boleh bagi orang yang mengetahuinya untuk menghajrnya, agar dia terbebas darinya.”

Hal ini telah ditetapkan oleh para ulama seperti Al-Khatthabi rahimahullah dimana Beliau berkata dalam Ma’alim as-sunan[12] ketika memberi komentar pada kisah Ka’ab radhiallahu anhu:

“padanya terdapat ilmu: bahwa diharamkannya menghajr diantara kaum muslimin lebih dari tiga hari itu berlaku pada sesuatu yang terjadi antara dua orang karena sebab marah, atau kurang dalam menunaikan hak-hak pergaulan atau yang semisalnya, bukan sesuatu yang menyangkut masalah agama, sebab menghajr pengekor hawa nafsu dan bid’ah terus berlaku sepanjang waktu dan zaman, selama tidak nampak dari mereka taubat dan kembali kepada agama.”

Demikian pula yang lainnya dari para ulama.[13]

[1] Al-Fath: 10/497.

[2] Akan disebutkan dalam waktu dengan insya Allah.

[3] 4/280

[4] 1/247

[5] 1/hal:255

[6] 9/108.

[7] 5/330.

[8] Bukhari (4418,al-fath), Muslim (2769).

[9] AL-HAfizh Ibnu Hajar menukilnya dalam Al-Fath: (10/497).

[10] 1/226.

[11] 10/ 497, al-fath.

[12] 5/9.

[13] Seperti Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Jami’ul uluum wal hikam (2/269), dan telah disebutkan sebagiannya, dan akan disebutkan pula berikutnya.

sumber : www.salafybpp.com/manhaj-salaf

KAJIAN KHUSUS TENTANG KAEDAH-KAEDAH HAJR (BAG. 2)

Ditulis oleh Fadhilatus Syaikh : Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhari Hafizhahullah Ta’ala
Senin, 21 Maret 2011 05:06

DALIL- DALIL AL-KITAB DAN AS-SUNNAH DALAM PERMASALAHAN AL-HAJR

Melihat nash-nash dalam al-kitab dan as-sunnah, hajr terbagi menjadi dua bagian:

Pertama: Hajr yang terlarang Kedua : Hajr yang disyari’atkan

BAGIAN PERTAMA : HAJR YANG TERLARANG

Telah lalu disebutkan bahwa diantara prinsip Ahlus sunnah adalah bersatu dan berkumpul, dan menolak perpecahan dan perselisihan, dan itu semua dibangun diatas kebenaran, karena kebenaran dan untuk kebenaran.Telah disebutkan banyak nash yang menguatkan makna ini, dan mencegah setiap jalan yang memutus segala sesuatu yang menghalangi prinsip ini. Termasuk diantaranya mencegah dari sikap pemboikotan, sebab bertentangan dengan prinsip ini.

Nash-nash dalam masalah ini sangat banyak, aku akan menyebutkan sebagiannya, sebab seperti yang aku katakan: tidak mungkin menyebutkannya secara menyeluruh. Diantaranya:

Dikeluarkan oleh dua Syaikh (Bukhari dan Muslim) dalam kedua shahihnya[1] dari hadits Abu Ayyub bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هذا وَيُعْرِضُ هذا وَخَيْرُهُمَا الذي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ
“tidak halal bagi seseorang memboikot saudaranya lebih dari tiga malam, keduanya bertemu lalu ini berpaling dan yang itu juga berpaling, dan yang terbaik dari keduanya adalah yang lebih dahulu mengucapkan salam.”

Dikeluarkan pula oleh kedua Syaikh (bukhari dan Muslim) dalam shahih keduanya[2] dari hadits Anas radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هذا وَيُعْرِضُ هذا وَخَيْرُهُمَا الذي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ
“tidak halal bagi seseorang memboikot saudaranya lebih dari tiga malam, keduanya bertemu lalu ini berpaling dan yang itu juga berpaling, dan yang terbaik dari keduanya adalah yang lebih dahulu mengucapkan salam.”

Juga diriwayatkan yang semisalnya dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma.[3]

Telah lewat pula disebutkan sebelumnya hadits Abu Hurairah :

تَحَاسَدُوا ولا تَنَاجَشُوا ولا تَبَاغَضُوا ولا تَدَابَرُوا
“janganlah kalian saling hasad,….. jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling memutus hubungan…..”

Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam shahihnya[4] dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يوم الإثنين وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شيئا إلا رَجُلًا كانت بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ انظروا هَذَيْنِ حتى يَصْطَلِحَا انظروا هَذَيْنِ حتى يَصْطَلِحَا انظروا هَذَيْنِ حتى يَصْطَلِحَا
“pintu- pintu surga terbuka pada setiap hari senin dan hari kamis, lalu diampuni setiap hamba yang tidak menyekutukan Allah sedikitpun, kecuali seseorang yang terjadi permusuhan antara dia dengan saudaranya, lalu dikatakan: tunda ampunan kedua orang ini hingga keduanya berdamai (3x).”

Hadits- hadits dalam permasalahan ini banyak sekali.

Diriwayatkan pula oleh Imam Abdullah bin Mubarak dalam kitabnya “az-zuhd”[5] dengan sanad yang shahih dari Imam Abul ‘Aliyah bahwa dia berkata:

“Aku banyak mendengarkan hadits- hadits tentang dua orang yang saling memutus hubungan, semuanya keras, dan yang paling ringan dari apa yang aku dengarkan adalah: kedua senantiasa menjauh dari kebenaran selama dalam keadaan demikian.”

Sisi pendalilan dari hadits- hadits ini adalah seperti yang disebutkan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Al-fath[6]:

“hadits-hadits ini dijadikan sebagai dalil bahwa siapa yang berpaling dari saudaranya muslim dan mencegah diri untuk berbicara dengannya dan mengucapkan salam kepadanya,maka dia berdosa. Sebab menafikan kehalalan menunjukkan haramnya, dan orang yang melakukan perkara haram berdosa.”

Hal ini juga ditetapkan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr rahimahullah dalam At-Tamhid[7], An-Nawawi rahimahullah dalam syarah Muslim[8], dan yang lainnya dari para ulama.

(Bersambung insya Allah ,..)
[1] Bukhari (no: 6077,Al-fath). Muslim (no:2560)

[2] Bukhari (no:6077,al-fath) Muslim (no:2559)

[3] Muslim (no:2561)

[4] No:2565

[5] No:728

[6] 10/496

[7] 6/116

[8] 16/117

sumber : www.salafybpp.com/manhaj-salaf

KAJIAN KHUSUS TENTANG KAEDAH-KAEDAH HAJR (BAG. 1)

Ditulis oleh Fadhilatus Syaikh : Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhari Hafizhahullah Ta’ala
Minggu, 20 Maret 2011 11:23

APA ITU HAJR (BOIKOT)

Al-Hajr (الهَجر) dengan difathah, lawan dari menyambung, dikatakan:هَجَرَهُ يَهْجُرُهُ هَجْرا وَهِجْرَانًا – بالكسر-

Artinya memutusnya .وهما يَهْتَجِرَان وَيَتَهَاجَرَانِ Artinya : keduanya saling memutus hubungan, nama yang diambil darinya: al-hijrah. الهُجُر : dengan di dhommah, artinya : kejelekan, kekejian dalam ucapan.

Berkata Raghib Al-Ashbahani rahimahullah dalam “al-mufradaat”: al-hajr dan al-hijraan, adalah seseorang yang memisahkan diri dari yang lain, baik dengan badannya, lisannya atau hatinya.[1] Lalu Beliau menguatkan hal itu dengan dalil-dalil dari kitabullah.

Al-Imam Al-Bukhari Rahimahullah menyebutkan bab dalam shahihnya, dalam kitab Al-Adab, bab al-hijrah, dan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam :

لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ
“Tidak halal bagi seseorang memboikot saudaranya lebih dari tiga (hari).”[2]

Berkata Al-Hafizh Al-Aini rahimahullah dalam Al-Umdah :

“Al-hijrah -dengan Ha yang dikasrah dan Jim yang disukun-, adalah meninggalkan berbicara dengan saudaranya mukmin tatkala keduanya bertemu, dan setiap dari keduanya berpaling dari sahabatnya tatkala berkumpul.”[3]

Dikeluarkan Imam Muslim dalam Ash-shahih (4/2564) dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

لا تَحَاسَدُوا ولا تَنَاجَشُوا ولا تَبَاغَضُوا ولا تَدَابَرُوا
“Janganlah kalian saling hasad, jangan kalian saling melakukan najasy [4], jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling memutus hubungan…..” hadits.

Berkata Al-Hafizh Abu Ubaid dalam “ghariibul hadits” [5]: At-Tadabur artinya: memutus hubungan dan memboikot, diambil dari kata: seseorang yang menghadapkan duburnya kepada yang lain, dan memalingkan wajahnya darinya, yaitu saling memutus hubungan.”

Seperti itu pula yang disebut Imam Malik rahimahullah dalam Al-Muwaththa’.[6]

Namun disini saya ingin menjelaskan dua peringatan penting:

Pertama :

Hendaknya diketahui bahwa asal hukum hijrah (memboikot/meninggalkan) adalah dengan hati, adapun meninggalkan dengan badan dan lisan, keduanya mengikuti hatinya, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam “Ar-Risalah At-Tabukiyah”.[7] Beliau berkata:

“Sesungguhnya hal yang terpenting yang menjadi tujuannya adalah berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya itu adalah fardhu ain bagi setiap hamba disetiap waktu, dan tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk berlepas dari kewajibannya ini, sebab ini merupakan tuntutan dari Allah dan kehendak-Nya kepada para hamba-Nya. Sebab hijrah itu ada dua macam:

Hijrah pertama: hijrah dengan jasadnya dari satu negeri menuju negeri yang lain. Hukum-hukum tentangnya merupakan hal yang maklum, dan bukan ini inti pembahasan kita.

Hijrah yang kedua: berhijrah dengan hatinya menuju Allah dan Rasul-Nya –Shallallahu Alaihi Wasallam-, inilah yang dimaksud disini, dan ini merupakan hakekat hijrah, yang merupakan asal, adapun jasad menjadi pengikut hatinya….” Kemudian Beliau menjelaskan panjang lebar dalam merinci dan menjelaskan prinsip ini , silahkan merujuk ke kitab tersebut.

Kedua:

Hendaknya diketahui bahwa termasuk prinsip agung Ahlus sunnah wal jama’ah adalah: kewajiban bersatu dan meninggalkan perpecahan dan perselisihan, dan persatuan tersebut dibangun diatas kebenaran, bersama kebenaran dan karena kebenaran tersebut. Allah Azza Wajalla berfirman :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan jangan kalian bercerai berai.” (QS,Ali Imran:103)

Dan Allah Azza Wajalla berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya orang- orang yang memecah belah agama mereka sehingga masing- masing mereka memiliki pengikut , Engkau tidaklah termasuk dari bagian mereka.” (QS.Al-An’am:159)

Dan ayat-ayat dalam permasalahan ini cukup banyak.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Muslim dalam Ash-Shahih[8] dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu:

إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا
“Sesungguhnya Allah meridhai kalian tiga perkara dan membenci kalian dari tiga perkara.”

Kemudian Beliau Shallallahu ALaihi Wasallam menyebutkan salah satunya:

وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan kalian berpegang teguh dengan tali Allah dan jangan berpecah belah.”

Ini syahid dari hadits ini, dan hadits-hadits banyak yang menjelaskan masalah ini, diantaranya hadits masyhur yang menjelaskan tentang tercelanya perpecahan.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah Ta’ala:

“Kalian mengetahui bahwa diantara kaedah agung yang menjadi inti agama ini adalah: menyatukan hati dan manyatukan kalimat, dan memperbaiki hubungan diantara sesama. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ
“Bertaqwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah hubungan diantara sesama kalian.” (QS.Al-Anfal:1)

Lalu Beliau menyebutkan beberapa ayat dalam dalam masalah ini. Lalu Beliau melanjutkan :

“… dan yang semisal dari nash-nash yang memerintahkan untuk berjama’ah dan bersatu dan melarang dari perpecahan dan perselisihan, dan orang yang memegang prinsip ini adalah ahlul jama’ah, sebagaimana orang yang meninggalkannya adalah ahlul furqah.”

Jika demikian –wahai para saudaraku yang aku cintai- yang wajib bagi kita untuk bersemangat dan berusaha mewujudkan prinsip ini dan menegakkannya diatas kebenaran dan dengan kebenaran, dengan menebar kasih sayang, persatuan, rasa cinta, dan saling bersaudara karena Allah dan untuk Allah, dalam mewujudkan perintah Ilahi dan bimbingan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, dan menjauhkan diri dari setiap sebab-sebab perpecahan dan pemutus hubungan, dengan menyebarkan pintu-pintu kebaikan dan penyambung hubungan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada bahasan seputar masalah ini.

(bersambung insya Allah) ……………


[1] Lihat: mu’jam maqaayiis al-lughah,Ibnu Faris (6/34), lisan Al-Arab, Ibnu Manzhur (8/hal:4617).

[2] Hal:833.

[3] 22/141

[4] Najasy adalah seseorang yang sengaja menaikkan harga barang seorang penjual padahal dia tidak ingin membelinya, namun dengan tujuan agar orang lain membelinya dengan harga yang tinggi. (pen)

[5] (2/10)

[6] 2/907

[7] Hal:35.

[8] Nomor:1715 (10).

sumber : www.salafybpp.com/manhajsalaf