Senin, 11 April 2011

KEPADA SIAPA KITA MENGAMBIL ILMU ?

Berkata Al-Imam Muhammad bin Sirin, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Beliau juga berkata :
“Dahulu mereka tidak menanyakan tentang sanad, maka tatkala fitnah telah terjadi, mereka pun berkata: ‘Sebutkanlah rawi-rawi kalian kepada kami, maka diperiksalah, bila berasal dari kalangan ahlus sunnah maka diambil haditsnya dan bila berasal dari ahlul bid’ah maka tidak diambil haditsnya.” (Kedua atsar di atas diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahihnya).
Tatkala sebagian dari orang yang bertaubat (kepada jalan salaf) lalai untuk mengetahui prinsip-prinsip dasar dan ketentuan-ketentuan tersebut, akhirnya merekapun menjadi lahan/ santapan syubhat¬syubhat dan menjadi tempat permainan kebanyakan orang yang mengaku berilmu dan bermanhaj salaf.
Maka tidaklah datang seorang yang mengaku berilmu atau menampakkan punya hubungan dengan ulama besar Ahlus Sunnah, kecuali engkau akan menemukan para pemuda yang bertaubat akan berkumpul disekelilingnya tanpa meneliti hakikat orang itu dan tanpa memeriksa riwayat hidupnya. Dan jika orang tersebut melihat bahwa pengikut-pengikutnya semakin banyak, dan para pencintanya semakin tergila-gila padanya, maka mulailah dia menampakkan apa yang selama ini disembunyikannya dan menjadi tujuannya. Kemudian engkau akan melihatnya meneriakkan imarah dalam dakwah atau mendirikan kemah tajammu’iyyah dan selainnya dari hal-hal yang menyelisihi prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamä’ah.

Ketika itulah orang-orang yang ingin bertaubat kembali pada manhaj salaf mulai guncang, dan terbagilah mereka menjadi dua atau tiga bagian; Ada yang mendukung, yang menentang, dan ada yang menyimpang.
Dan kegoncangan ini hanyalah terjadi karena dua perkara :
Pertama:
Bahwa orang-orang yang bertaubat tidak menekuni ilmu yang bermanfaat, terutama ilmu tentang prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamä’ah. Hal tersebut karena ilmu adalah pelindung dari berbagai ketergeliciran.
Tidak engkau memperhatikan bagaimana ilmu itu dapat menjaga Abu Bakrah radhiyallähu ‘anhu pada perang Jamal, tatkala mereka memajukan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallähu ‘anha (sebagai pemimpin -pent). Maka Abu Bakrah telah dijaga oleh sebuah hadits yang pernah dia dengarnya dari Rasululläh shollallähu ‘alahi wa ‘alä älihi wa sallam, dimana beliau ‘alaihish sholätu was salam bersabda tatkala datang kepada beliau berita kematian Raja Kisra dan penetapan putrinya (sebagai penggantinya), beliau bersabda :
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang nenyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan.”
Maka tatkala terjadi fitnah tersebut, teringatlah Abu Bakrah akan hadits ini, yang akhirnya menjaganya dari fitnah tersebut, dimana Abu Bakrah berkata :
عَصَمَنِيَ اللهُ بِشَيْءٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى قَالَ مَنِ اسْتَخْلَفُوْا قَالُوْا : ابْنَتَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ : لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً قَالَ فَلَمَّا قَدِمَتْ عَائِشَةُ تَعْنِيْ الْبَصْرَةَ ذَكَرَتُ قَوْلَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فَعَصَمَنِيَ اللهُ بِهِ
“Alläh telah melindungiku dengan sesuatu yang telah aku dengar dari Rasululläh shollallähu ‘alahi wa ‘alä älihi wa sallam saat kematian Kisra, beliau bertanya : “Siapa yang mereka angkat sebagai gantinya”, kata mereka : “Putrinya”. Maka Nabi shollallähu ‘alahi wa ‘alä älihi wa sallam bersabda : “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan.’
Kemudian Abu Bakrah berkata : “Maka tatkala ‘Aisyah tiba di Bashrah, akupun teringat sabda Rasululläh shollallähu ‘alahi wa ‘alä älihi wa sallam sehingga Alläh melindungiku dengannya.” (HR. Al-Bukhäri (7099), An-Nasä`i (5403), dan At-Tirmidzy (2365), dan konteks hadits diatas adalah konteks beliau)

Kedua:
Tidak merujuk kepada para ulama. Padahal yang sepantasnya adalah bertanya kepada ulama dan para penuntut ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamä’ah, (mereka) yang punya pengetahuan tentang orang yang akan diambil faidah darinya, maka ditanyakan tentang orang tersebut :
Apakah ia termasuk penuntut ilmu yang bermanhaj salaf atau bukan?
Apakah ia telah belajar dengan bentuk studi ilmiyah yang benar, dimana telah pantas menuntut ilmu darinya atau tidak?
Maka bila jawabannya “tidak”, maka perkaranya selesai, walhamdulilläh. (artinya orang tersebut ditinggalkan,-pent.).
Dan bila jawabannya positif, maka tentunya dapat diambil faedah darinya tetapi dengan tidak berlebih-lebihan padanya, melainkan menempatkannya pada kedudukan dan martabatnya.

Dan disini ada point yang sangat penting, yaitu membedakan antara para ulama rabbany yang merupakan acuan ilmiyah dan acuan dalam masalah-masalah kontemporer, seperti Al-Imam Muhammad Näshirudïn Al-Albäni dan Al-Imam Abdul ‘Azïz bin Abdulläh bin Bäz –semoga Alläh merahmati keduanya-, dan ulama-ulama rabbany yang masih tersisa seperti syaikh Muhammad bin Sholïh Al-Utsaimïn, syaikh Sholïh bin Fauzän Al-Fauzän, syaikh Robï’ bin Hädy Al-Madkhaly, syaikhunä Muqbil bin Hädy A1-Wädi’iy dan selain mereka dari para ‘ulama yang selevel dengan mereka dari kalangan ahli ‘ilmu dan ahli fatwa, Ahlus Sunnah wal Jamä’ah. Dimana mereka ini, memiliki tingkatan dan kedudukan (tersendiri), dengan para penuntut ilmu yang menonjol, diketahui tingkat keilmuannya, telah nampak teguhnya mereka diatas sunnah melalui kitab-kitab karya mereka dan rekomendasi para ulama rabbany terhadap mereka. Maka untuk mereka ini, tingkatan dan kedudukan (tersendiri).

Serta dengan para penuntut ilmu yang berada di bawah tingkatan mereka, yang diketahui kesalafian mereka dan kemampuan mereka dalam memberikan pelajaran.

sumber : www.al-atsariyyah.com

[Dikutip dari buku 'Wasiat Berharga Bagi yang Kembali ke Manhaj Salaf' wasiat keempat]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar