Sabtu, 01 Oktober 2011

SUNNAH POSISI TANGAN KETIKA I'TIDAL SETELAH RUKU' [ bag. I ]

Oleh : Ustadz Abu Unaisah Jabir

Berkata al ‘Allamah al Qodhiy Abul Hasan Ali bin Sulaiman al Mardawiy al Hambaliy rohimahulloh : “ . . . kemudian mengangkat kepala dibarengi dengan mengangkat kedua tangannya seraya wajib mengucapkan sami’allohu liman hamidah bagi imam atau munfarid dengan lafadz yang berurut, kemudian ditegaskan oleh al Imam Ahmad jika ia ingin menjulurkan kedua tangannya maka dipersilakan atau jika ingin bersedekap maka juga dipersilakan ”._ [ kitab at Tangqihul Musybi’ ( 92 ) cet. Maktabatur Rusyd ]


Inilah pendapat yang menjadi ketetapan madzhab al Imam Ahmad dalam hal ini yaitu adanya kebebasan antara bersedekap atau meluruskan kedua tangannya. Masing – masing boleh diamalkan dan masing – masing berdasar kepada dalil dan tidak ada riwayat pembid’ahannya dari al Imam Ahmad.

Dalil – dalil yang mensunnahkan bersedekap

1. Hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu riwayat Abu Dawud ( 643 ) dan at Tirmidziy ( 376 ) dengan lafadz :

(( أن رسول اللّه صلى الله عليه وسلم نهى عن السَّدْلِ في الصلاة ))

Terjemah hadits : (( Bahwa Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam melarang as sadl dalam sholat )).

Derajat hadits : Riwayat Abu Dawud dihukumi dhoif oleh Abu Dawud sendiri dalam kitab sunannya. Sedang riwayat at Tirmidziy maka beliau mengisyaratkan akan kelemahannya, dalam sunannya beliau menyatakan : “ Hadits Abu Huroiroh ini maka kami tidaklah mengetahui dari jalan ‘Atho dari Abu Huroiroh secara marfu’ kecuali dari jalan ‘Isl bin Sufyan ”. Berkata al Khollal : “ Al Imam Ahmad ditanya tentang hadits as sadl yang dari Abu Huroiroh ? maka beliau menjawab : hadits itu tidaklah shohih sanadnya, beliau katakan : ‘Isl bin Sufyan bukanlah seorang yang kuat hapalan haditsnya ”. Berkata penulis at Tuhfatul Ahwadziy : “ ‘Isl bin Sufyan telah divonis lemah oleh mayoritas pakar hadits ”._ [ at Tuhfatul Ahwadziy ( 2 / 380 ) MSH ]

Namun sebagian ulama menghukumi shohih riwayat Abu Dawud dan hasan untuk riwayat at Tirmidziy, mereka adalah penulis at Tuhfah ( 2 / 381 ) dan al Albaniy dalam Shohih wa Dhoif Sunan Abi Dawud ( no. 643 ) dan Shohih wa Dhoif sunan at Tirmidziy ( no. 378 ) juga Badi’uddien ar Rosyidiy dalam risalah Ziyadatul Khusyu’ ( 14 )

Kesimpulan : Hukum yang ditetapkan oleh al Imam Ahmad akan lemahnya hadits ini lebih menenangkan hati, wallohua’lam.

Sisi pendalilan : as sadl yang dilarang dalam hadits ini maknanya secara bahasa adalah menjulurkan atau meluruskan [ lihat al Qomus ( 913 ) ], sedang secara syari’ah maka ia dipakai untuk pakaian maupun anggota badan seperti rambut termasuk tangan, oleh karenanya berkata al Minawiy rohimahulloh mensyarah hadits tersebut : “ yang dimaksud adalah meluruskan tangan ”._[ Faidhul Qodir ( 6 / 315 ) dari Ziyadatul Khusyu’ ( 17 ) ] namun larangan disini diarahkan kepada kemakruhan sebagaimana at Tirmidziy menegaskan hal tersebut dalam sunannya dari para ulama, Ahmad dan Ibnul Mubarok. Artinya bahwa I’tidal setelah ruku’ termasuk bagian dari sholat maka makruh didalamnya untuk meluruskan tangan sehingga sebaliknya disunnahkan untuk bersedekap, Wallohu a’lam.

2. Hadits Wa’il bin Hujr riwayat an Nasa’iy dalam sunannya ( 887 ) dengan lafadz :

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا كان قائما في الصلاة قبض بيمينه على شماله

Terjemah hadits : Aku melihat Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam jika beliau berdiri dalam sholat maka beliau bersedekap.

Derajat hadits : Sanad hadits ini dihukumi shohih oleh al Albaniy dalam Shohih wa Dhoif Sunan an Nasa’iy ( 887 ) juga oleh Badi’uddien ar Rosyidiy dalam Ziyadatul Khusyu’ ( 18 ).

Sisi pendalilan : Bahwa I’tidal setelah ruku’ masuk dalam kategori keumuman (( berdiri )) dalam hadits tersebut yang keumumannya ditunjukkan oleh lafadz (( idza = jika )) maka berarti posisi sunnah dalam berdiri setelah ruku’ adalah juga bersedekap sebagaimana cakupan keumuman lafadz hadits. Sunnah sebab ini adalah perbuatan Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam, wallohu a’lam.

3. Hadits Wa’il bin Hujr rodhiyallohu ‘anhu riwayat Abdulloh bin Ahmad dalam zawaid musnadnya ( musnad Kufiyyin no. 18.871 ) dengan lafadz :

(( رأيت النبي صلى الله عليه وسلم حين كبر رفع يديه حذاء أذنيه ثم حين ركع ثم حين قال سمع الله لمن حمده رفع يديه ورأيته ممسكا يمينه على شماله في الصلاة )) الحديث

Terjemah hadits : Aku melihat Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam ketika bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya kemudian ketika ruku’ kemudian ketika mengucap sami’allohu liman hamidah, beliau mengangkat kedua tangannya dan aku lihat beliau memegang dengan telapak kanannya atas telapak kirinya ( bersedekap_pent.) dalam sholat.

Derajat hadits :

Sisi pendalilan : Hadits ini menunjukkan bahwa posisi tangan bersedekap ketika beridiri termasuk berdiri diwaktu I’tidal setelah ruku’,wallohu a’lam.

4. Hadits Sahl bin Sa’ad as Sa’idiy rodhiyallohu ‘anhu riwayat al Bukhoriy dalam shohihnya ( 707 ) dengan lafadz :

(( كان الناس يؤمرون أن يضع الرجل اليد اليمنى على ذراعه اليسرى في الصلاة ))


Terjemah hadits : Masing – masing orang diperintahkan untuk meletakkan telapak tangan kanannya pada lengan kiri ( bersedekap_pent.) dalam sholat.

Derajat hadits : Shohih

Sisi pendalilan : Hadits secara umum menyatakan ( dalam sholat ) dan tidak menyatakan ( dalam keadaan berdiri ) sebab didalam sholat, posisi tangan ketika ruku’ adalah pada kedua lutut, ketika sujud adalah pada lantai, ketika duduk adalah pada kedua paha dan ketika berdiri_ mencakup berdiri sebelum ruku’ ataupun sesudah ruku’_ adalah bersedekap, wallohu a’lam. [ lihat kitab Asyarhul Mumti’ ( 3 / 103 – 104 ) MFK ]

Munaqosyah dalil – dalil diatas : Bahwa dalil – dalil diatas tidaklah tegas menetapkan posisi bersedekap ketika I’tidal setelah ruku’. Berkata al ‘Allamah Ibnul ‘Utsaimin rohimahulloh : “ Yang ditegaskan dari al Imam Ahmad bahwa seseorang diberi pilihan antara meluruskan kedua tangannya atau bersedekap. Seolah – olah al Imam Amad berpendapat demikian dikarenakan tidak terdapatinya dalam hadits – hadits yang menunjukkan hal ini dengan tegas sehingga beliaupun berpendapat bahwa seseorang diberi pilihan dalam hal ini . . .”._[ kitab Asyarhul Mumti’ ( 3 / 103 ) MFK ] . . .bersambung insyaalloh.

FATWA TENTANG LASKAR SANTRI

Semenjak beberapa tahun lamanya telah marak disebagian pondok – pondok pesantren dinegeri kita sebuah kegiatan kepesantrenan yang berbau pendidikan jihad. Laskar santri atau biasa disingkat Lastri, itulah mereka, sekelompok santri yang terlibat aktif dalam berbagai kegiatan pendidikan jihad dengan seragam khususnya ; mulai dari pendidikan baris – berbaris, pelatihan fisik, yel – yel dengan nasyid – nasyid jihadi sambil berlari bersama dibawah terik matahari dan kemudian biasa ditutup istirahat dengan menikmati sajian film - film documenter jihad Chechnya atau pelatihan pasukan Taliban dicamp mereka, Afghanistan. Semua itu terjadi dibawah sepengetahuan pihak pesantren bahkan dibawah bimbingan sebagian mereka dan terjadi dinegeri Islam yang aman dan memiliki pasukan tempur yang memiliki wewenang. Apakah tujuan dari Lastri dan pihak – pihak yang terlibat didalamnya ? adakah ditangan para penanggung jawab pesantren bimbingan dari ulama Ahlus Sunnah akan kegiatan mereka ini ? Saya kira mereka beramal dulu baru cari dalih dalam kasus ini seperti yang sudah – sudah.

Maka berikut fatwa al ‘Allamah Sholih bin Fawzan Al Fawzan hafidzohulloh menanggapi fenomena ini sekaligus sebagai nasehat bagi para penanggung jawab pesantren, wallohul Muwaffiq.

Pertanyaan : Apakah pantas bagi penanggung jawab pesantren untuk mendidik para santrinya dengan tarbiyah jihadiyah, hal itu dengan cara membagi para santrinya kepada beberapa kelompok dan menamai masing – masing kelompok dengan nama – nama pertempuran [ seperti syuqqoh khoibar, syuqqoh khondaq, uhud dll_pent. ], menyajikan kepada para santri berita – berita mujahidin di Chechnya dll, menyajikan kepada mereka film – film documenter jihad, pertempuran serta para orang yang gugur didalamnya, dan memperdengarkan kepada mereka nasyid – nasyid Hamas yang memotifasi jihad ?

Jawaban Asy Syaikh hafidzohulloh : “ Seorang pengajar adalah pemegang amanah, yang wajib atasnya adalah mengajarkan dan menjelaskan manhaj kepada para santri yang berada dihadapannya, mengajari mereka fikih, tauhid, nahwu, hadits dan tafsir al Qur’an, jangan ia membawa mereka keluar kepada perkara - perkara yang mereka tidak sampai dan akal mereka tidak mampu menanggungnya serta perkara yang menyibukkan mereka dari pelajaran – pelajaran. Maka mestinya ia menjauhi perkara – perkara ini dan hendaknya mencukupkan pada mengajari mereka pelajaran – pelajaran yang telah terkurikulum untuk mereka, cukuplah ia memahamkan materi – materi pelajaran dan mengajarkannya kepada mereka dan ia menunaikan amanah yang menjadi tanggungannya. Jangan ia membagi para santri kepada kelompok – kolompok dan memfanatikkan mereka kepada kelompoknya masing – masing, jangan ia mendidik mereka dengan pendidikan dasar – dasar pergerakan dan jangan ia mengahalangi mereka dari mempelajari ilmu ”._[ kitab Al Ajwibatul Muhimmah ( 1 / 64) kumpulah Ahmad Al Hushoyyin ]

Ironisnya, sebagian pesantren yang mendakwakan diri mereka sebagai Ahlus Sunnahpun tak mau ketinggalan dengan berbagai aksi Lastri diatas, bahkan mereka mengidolakan tokoh – tokoh semisal Usamah bin Laden . . . ajiib !! kemudian para ustadznya membuka muhadhoroh – muhadhoroh dikalangan awam bertemakan anti teroris . . . sebuah kontradiktif yang bermuatan talbis syaithoniy.

Berikut fatwa al ‘Allamah Asy Syaikh Ibnu Baz rohimahulloh tentang Usamah bin Laden dkk : “ Adapun aksi – aksi yang dijalankan sekarang ini oleh Muhammad al Mis’ariy, Sa’ad al Faqih dan semisal keduanya dari para penebar seruan – seruan yang rusak lagi sesat maka ini tidak diragukan lagi bahwa ia adalah kejelekan yang besar, mereka adalah para duat penyeru kepada kejelekan yang besar dan kepada kerusakan yang fatal. Jadi yang wajib adalah waspada dari tulisan – tulisan yang mereka sebarkan, memusnahkan tulisan – tulisan mereka tersebut dan tidak bekerjasama dengan mereka dalam hal apapun yang mengarah kepada kejelekan, kerusakan, kabatilan dan fitnah. Sebab Alloh hanya memerintahkan untuk bekerjasama dalam kebajikan dan ketakwaan dan melarang dari bekerjasama dalam kerusakan, kejelekan, menebar kedustaan dan menebar seruan – seruan batil yang mengarah kepada perpecahan serta terancamnya keamanan dsb. Seruan – seruan ini yang bersumberkan dari al Faqih atau Mis’ariy atau dari selain keduanya dari para penyeru kebatilan, para duat penyeru kejelakan dan perpecahan wajib untuk diakhiri, dimusnahkan dan tidak boleh dilirik sama sekali. Juga wajib untuk mereka dinasehati dan diarahkan kepada kebenaran dan mereka diperingatkan dari kebatilan ini. Tidak diperkenankan bagi seorangpun untuk bekerjasama dengan mereka dalam kejelekan ini, mereka wajib dinasehati, mereka wajib untuk kembali kepada kebenaran dan mereka wajib untuk meninggalkan kebatilan ini dan menjauhinya. Maka nasehatku untuk Mis’ariy, al Faqih dan Ibnu Laden serta untuk siapa saja yang menempuh cara – cara mereka agar mereka meninggalkan cara – cara yang pahit ini, agar mereka bertakwa kepada Alloh dan waspada dari siksa dan murkaNya, agar mereka kembali kepada kebenaran dan agar mereka bertaubat dari aksi – aksi yang telah mereka perbuat, sesungguhnya Alloh telah berjanji untuk menerima taubat dari para hamba yang bertaubat dan berjanji untuk memberikan kebaikan kepada mereka . . .”_ [ Majallatul Buhuts vol. 50 ( 7 – 17 ) dan Majmu’ul Fatawa wa Maqoolatisy Syaikh ( 9 / 100 ) dari Al Ajwibatul Muhimmah ( 1 / 166 – 167 ) ]

Semoga para penanggung jawab pesantren tersebut diberi taufiq oleh Alloh untuk mengambil nasehat kedua alim besar Ahlus Sunnah diatas dan mau kembali kepada petunjuk.

وصلى الله على محمد وسلم والله أعلم والحمد لله