Jumat, 24 Juni 2011

Nasihat Supaya Jangan Memasuki Perkara yang Tidak Bermanfaat

Oleh: Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi

Orang yang belajar pendidikan agama kadang ia masuk ke dalam perkara yang tidak ada manfaatnya tanpa ia sadari. Dan lebih parah lagi apabila ia masuk ke dalam sebuah perkara yang merupakan makar dari syaithan. Dan di masa ini banyak sekali terjadi di antara para penuntut ilmu, dan ini diingatkan oleh para ulama kita di masa ini.

Makna-makna ini kita dengarkan dari Syaikhuna Muqbil rahimahullâh, Syaikhuna Shalih Al Fauzan hafizhahullâh, Syaikhuna Mufti Saudi Arabia sekarang ini, ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafizhahullâh, Syaikhuna Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh, Syaikhuna Syaikh ‘Ubaid Al Jabiri hafizhahullâh, Syaikhuna Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi rahimahullâh; Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh, dan banyak lagi dari para ulama kita di masa ini. Semuanya memperingatkan, agar penuntut ilmu di mana pun ia berada berhati-hati dari makar syaithan yang ingin membuat perpecahan di tengah para penuntut ilmu. Dan banyak mereka mengingatkan hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa alihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallâhu ‘anhu,

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيْسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّوْنَ فِيْ جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ وَلَكِنْ بِالتَّحْرِيْشِ بَيْنَهُمْ.

“Sesungguhnya syaithan itu sudah berputus asa untuk membuat/menjadikan orang-orang yang sholat di Jazirah Arab menyembahnya, akan tetapi makar yang dilakukan oleh syaithan, ia mengadu domba di antara mereka.”

Karena itulah ikhwani fillâh, hal yang tidak ada manfaatnya, seorang mukmin jangan masuk ke dalamnya. Hal yang ia tidak ada hak berbicara di dalamnya, maka hendaknya ia bertaqwa kepada Allah subhanahu wa ta’âlâ. Sebab setiap apa yang diucapkan oleh lisan itu akan dihisab dan dipertanggungjawabkan. Bahkan kadang sebuah ucapan, ia harus mempertanggungjawabkannya dengan pertanggungjawaban yang sangat besar pada hari kiamat.

Kita semua tahu bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لاَ يَتَبَيَّنُ فِيْهَا يَزِلُّ بِهَا إِلَى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغُرِبِ

“Sesungguhnya seorang lelaki berbicara dengan sebuah kalimat, dia tidak perjelas kalimat tersebut (apa akibatnya?), kalimat ini menjatuhkan dia ke dalam neraka Jahannam sejauh Timur dan Barat.”

Sejauh Timur dan Barat! Wal iyâdzu billâh.

Dan di hari-hari ini betapa banyak orang-orang yang mengucapkan kalimat-kalimat, dia tidak menyangka bahwa kalimat ini berbahaya, tersebar sampai ke pelosok negeri ke berbagai penjuru, menimbulkan berbagai macam perselisihan, perpecahan, ditunggangi oleh syaithan, sehingga membuat ahlul bid’ah dan ahlul munkarot bergembira dengannya, sedangkan dia tidak menyadarinya.

Karena itu, hendaknya setiap orang bertaqwa kepada Allah subhanahu wa ta’âlâ. Dan ia mengingat bahwa hidup ini punya arti, punya makna. Ada hal yang diprioritaskan, ada hal yang hendaknya kita jaga, senantiasa kita renungi. Jangan kita masuk ke dalam sebuah perkara—yang demi Allah—kita tidak ditanya tentang hal tersebut di alam kubur. Kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban pada hari Kiamat tentang hal itu. Hendaknya kita mengurus perkara-perkara yang kita harus pertanggungjawabkan di depan Allah subhanahu wa ta’âlâ.

(Ditranskrip dengan penyempurnaan redaksi oleh Muhammad Syarif Abu Yahya dari rekaman dauroh di Masjid Al Fithroh, Terban, Yogyakarta, 30 Dzulhijjah 1430 H/17 Desember 2009

Kamis, 23 Juni 2011

TIDAK SEORANGPUN SELAMAT DARI PEMBICARAAN (KRITIK) maka, Tatsabbutlah (ceknricek)

Penulis : Ust. Jafar Sholeh

Siapa saja yang membaca biografi ulama dan sejarah mereka atau bahkan sejarah manusia seluruhnya tidak mendapati seorang pun yang menonjol kecuali orang-orang berselisih tentangnya. Maka tidakk seorang pun yang menonjol dari ummat ini kecuali diperbincangkan, sebagian memuliakan dan membelanya dan sebagian lainnya merendahkan dan mempersalahkannya.

Al Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah telah menyebutkan perkataan yang berharga lagi panjang berkenaan dengan hal ini ketika beliau membawakan biografi Al Husain bin Manshur Al Hallaj -semoga Allah membalasnya dengan balasan yang setimpal-, dan bahwasanya ada diantara manusia yang meyakininya sebagai seorang wali padahal ia diantara da'i yang mengajak kepada ilhad (kekufuran) dan zindiq, maka saya akan bawakan perkataan beliau lengkap mengingat pentingnya masalah ini.

((Tidaklah pantas bagi anda wahai faqih untuk tergesa-gesa mengkafirkan seorang muslim kecuali dengan bukti yang qath'i (jelas) sebagaimana tidak dibenarkan bagi anda untuk meyakini ke wali-an seseorang yang telah terbukti penyimpangannya dan tersingkap ke zindiq-kannya. Tidak ini dan tidak pula itu. Bahkan yang adil adalah bahwa seseorang yang dianggap oleh ummat Islam shalih, baik maka ia demikian. Karena ummat Islam adalah saksi-saksi Allah dimuka bumi, karena ummat ini tidak akan bersatu di atas kesesatan. Dan bahwa seseoran yang dianggap oleh ummat Islam jahat atau munafik atau pengekor kebatilan, maka ia demikian.

Dan adapun seseorang yang segolongan ummat ini menyesat-nyesatkannya dan segolongan ummat lainnya memuji dan mengagungkannya dan segolongan ummat yang ketiga bersikap abstain (tawaqquf) dan berhati-hati dari menjatuhkannya, maka orang ini adalah termasuk orang-orang yang sepatutnya (kita) berpaling darinya dan menyerahkan urusannya kepada Allah dan dimohonkan ampunan untuknya, karena islamnya pasti dengan keyakinan sedangkan kesesatannya diragukan. Dengan sikap ini kamu menjadi lega dan hatimu pun bersih dari kebencian kepada sesama mu'minin.

Kemudian ketahuilah bahwa ahli kiblat seluruhnya (ummat Islam), mukmin dan fasiknya, sunni dan mubtadi'nya, kecuali para shahabat, tidak pernah sepakat atas seorang muslim bahwa ia bahagia dan selamat atau celaka dan binasa. Perhatianlah Ash-Shiddiq (Abu Bakar) satu-satunya yang pernah ada pada ummat ini, kamu telah mengetahui bagaimana orang berselisih tentangnya, begitu pula Umar, Utsman dan Ali. Begitu pula Ibnu Zubair, Al Hajjaj, Al Ma'mun dan begitu pula Bisyr Al Mirrisy, Ahmad bin Hambal, Asy-Syafi'i, Al Bukhari dan An-Nasa'i dan selain dari mereka dari tokoh-tokoh kebaikan dan kesesatan sampai harimu sekarang ini.

Maka tidak ada seorang imam yang sempurna dalam kebaikan kecuali disana ada orang-orang jahil dan ahlul bid'ah yang mencelanya dan menjatuhkan kehormatannya. Dan tidak ada seorang pun gembong Jahmiyah dan Rafidhah kecuali ada orang-orang yang membelanya dan meyakini (kebenaran) pendapat-pendapatnya diatas hawa nafsu dan kejahilan. Melainkan yang menjadi ukuran adalah pendapat jumhur yang bersih dari hawa nafsu dan kejahilan yang berhias dengan sifat wara' dan bersandar diatas ilmu.

Maka perhatikanlah oleh engkau wahai hamba Allah ajaran dan madzhab Al Hallaj ini, yang mana ia diantara gembong-gembong Qaramithah dan da'i-da'i yang mengajak kepada zandaqah (zindiq). Bersikap adillah dan jagalah sikap wara', berhati-hati dan hisablah dirimu. Apabila jelas bagimu bahwa sifat-sifat orang ini adalah sifat-sifat musuh Islam, cinta dengan kekuasaan, senang popularitas diatas kebenaran atau kebatilan, maka berlepaslah dari ajarannya. Sedangkan apabila yang jelas bagimu -hanya kepadaNya kita berlindung- bahwa orang ini -dan keadaannya seperti ini- diatas kebenaran, pembawa hidayah dan petunjuk, maka perbaikilah islammu dan mintalah pertolongan Rabmu agar Ia memberimu taufik kepada kebenaran dan mengokohkan hatimu diatas agamaNya, karena sesungguhnya petunjuk itu adalah cahaya yang Allah letakkan dihati hambaNya yang muslim. Dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah. Sedangkan apabila engkau ragu dan tidak mengetahui hakikat orang ini dan engkau berlepas diri dari tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya, berarti engkau telah istirahatkan dirimu dan Allah tidak akan bertanya kepadamu tentangnya sama sekali.)) -selesai perkataan Al Imam Adz-Dzahabi- (lihat Siyar 14/343-345)

Sungguh keridha'an seluruh manusia adalah tujuan yang tidak akan tercapai dan tidak ada jalan keselamatan dari mereka seluruhnya.

HUKUM MENGUCAP SALAM KEDUA DIAKHIR SHOLAT BAG. 3

Penulis : Ust. Abu Unaisah Jabir

B. Dalil dan alasan yang mentarjih riwayat rukun atau wajib :

1. Hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh rodhiyallohu ‘anhu riwayat Muslim dalam shohihnya (582) dengan lafadz
{ كنت أرى رسول الله صلى الله عليه وسلم يسلم عن يمينه وعن يساره حتى أرى بياض خده
Terjemahannya : { Aku melihat Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam mengucap salam kekanan dan kekiri hingga aku melihat putihnya pipi beliau }.
Munaqosyah : Berkata syaikh Ibnu Rojab rohimahulloh : “ hadits ini adalah dari riwayat Abdulloh bin Ja’far al Makhromi, perowi ini hadistnya tidak ditakhrij oleh Al Bukhoriy dalam shohihnya ”.[ Fat-hul Bariy, MSH ]
Dijawab : bahwa Abdulloh bin Ja’far al Makhromiy adalah seorang perowi yang tsiqqoh dan cukup keberadaan Muslim menjadikannya hujjah dalam kitab shohihnya. Adapun keberadaan Al Bukhoriy tidak mentakhrij haditsnya dalam kitab shohihnya maka tidak semua hadits shohih telah ditakhrij oleh beliau dalam kitab shohihnya. Wallohu a’lam
Berkata al Imam Ahmad bin Hambal rohimahulloh : “ telah shohih disisi kami dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dari lebih dari satu jalur periwayatan bahwa beliau senantiasa mengucap salam kekanan dan kekiri hingga terlihat putihnya pipi beliau ”.[ lihat kitab Al Mubdi’ (1 / 417) MFK dan Fat-hul Bariy karya Ibnu Rojab, Kitabush Sholat, Bab at Taslim, MSH ]

2. Hadits Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu riwayat Muslim dalam shohihnya (581) dengan lafadz :
{ عن أبي معمر أن أميرا كان بمكة يسلم تسليمتين ، فقال عبد الله _ يعني ابن مسعود _ : أنـى عقلها ، إن رسول الله كان يفعله }
Terjemahannya : { dari Abu Ma’mar bahwa seorang penguasa di Makkah mengucap dua salam dalam sholatnya maka Abdulloh bin Mas’ud keheranan menyatakan : dari siapa dia belajar tata cara ini ? sesungguhnya Rasululloh senantiasa melakukannya }.
Munaqosyah : berkata syaikh Ibnu Rojab rohimahulloh : “ hadits ini telah diperselisihkan oleh para pakar hadits dari segi kemarfu’an dan kemauqufannya ”.
Dijawab : berkata syaikh Ibnu Rojab melanjutkan komentarnya terhadap hadits ini : “ Muslim mentakhrij hadits ini dengan kedua segi tersebut ” maknanya, bahwa baik riwayat yang marfu’ maupun yang mauquf kedua – duanya adalah shohih dan benar sehingga salah satu dari keduanya tidaklah menjadi ‘illah bagi yang lain, keadaan sedemikian ini sering didapati dalam riwayat – riwayat. Wallohu a’lam

3. Hadits Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu riwayat Ahmad dalam Musnadnya (3699) Abu Dawud dalam sunannya (996) At Tirmidzi dalam jami’nya (295) An Nasa’iy dalam sunannya (1325) dengan lafadz :
{ أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يسلم عن يمينه السلام عليكم ورحمة الله وعن يساره السلام عليكم ورحمة الله }
Terjemahannya : { Bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam beliau senantiasa mengucap salam kekanan Assalamu’alaikum warohmatulloh dan kekiri Assalamu’alaikum warohmatulloh }.
Munaqosyah : Berkata syaikh Ibnu Rojab rohimahulloh : “ hadits ini diriwayatkan dengan ragam perbedaan dalam sanad – sanadnya yang berporos pada salah satu perowinya yaitu Abu Ishaq juga diperselisihkan dari segi kemarfu’an dan kemauqufannya, adalah Syu’bah beliau mengingkari jika hadits ini marfu’ ”.[ Fat-hul Bariy karya Ibnu Rojab, MSH ]
Dijawab : Bahwa beberapa ulama pakar hadits telah menghukumi shohih riwayat yang marfu’ dari hadits ini diantaranya adalah At Tirmidzi rohimahulloh dalam Jami’nya (295) dan Al ‘Uqoiliy rohimahulloh.
Berkata Al ‘Uqoiliy rohimahulloh : “ Hadits – hadits yang shohih dari Ibnu Mas’ud dan dari Sa’ad bin Abi Waqqosh serta dari selain keduanya adalah dalam mengucap dua salam, dan tidaklah shohih satu haditspun bahwa beliau mengucap salam hanya satu kali ”.[kitab Dhu’afa’ (1 / 195) lihat kitab Mustadrokut Ta’lil (187)].

4. Hadits Jabir bin Samuroh rodhiyallohu ‘anhu riwyat Muslim dalam shohihnya (581) dengan lafadz
{ إنما يكفي أحدَكم أن يضع يده على فخذه ثم يسلم على أخيه من على يمينه وشماله }
Terjemahannya : { cukup bagi seorang dari kalian untuk meletakkan tangannya diatas pahanya kemudian ia mengucap salam kepada saudaranya yaitu siapa yang berada disebelah kanannya dan sebelah kirinya }.
Berkata syaikh Muhammad Ibnul Utsaimin rohimahulloh : “ mereka menyatakan : sesungguhnya apa yang kurang dari kadar mencukupi maka tidaklah mengesahkan ”.[ Asyarhul Mumti’ (3 / 211) MFK]
Munaqosyah umum terhadap dalil – dalil diatas : Bahwa hadits – hadits tersebut dari bentuk perbuatan yang tidak sampai kepada tingkatan menunjukkan wajib.
Dijawab : Berkata syaikh Ibnu Rojab rohimahulloh : “sekelompok dari ahlul ilmi tersebut berpendapat bahwa seseorang tidaklah selesai dari sholatnya melainkan dengan mengucap kedua salam seluruhnya, pendapat ini diriwayatkan dari Al Hasan bin Haiy, salah satu riwayat dari dua pendapat al Imam Ahmad, sebagian ulama madzhab Malikiyyah dan sebagian ulama madzhab dzohiriyyah. Mereka berdalilkan dengan hadits { وتحليلها التسليم } mereka menyatakan : mengucap salam dalam hadits ini diarahkan kepada apa yang diketahui dari perbuatan beliau sholallohu ‘alaihi wasallam yang senantiasa beliau kerjakan yaitu mengucap dua salam. Mereka juga berdalilkan dengan hadits (( صلوا كما رأيتموني أصلي )) terjemahannya : { sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat sholatku } dan sungguh beliau senantiasa mengucap dua salam dalam sholatnya ”.[ Fat-hul Bariy karya Ibnu Rojab, MSH ]
Berkata syaikh Muhammad Ibnul ‘Utsaimin rohimahulloh : “ Beliau sholallohu ‘alaihi wasallam senantiasa mengerjakan mengucap dua salam baik dalam keadaan mukim atau safar lagi disaksikan oleh orang – orang kota, orang – orang badu, orang alim dan jahil, serta sabda beliau (( صلوا كما رأيتموني أصلي )) terjemahannya : { sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat sholatku }, kesemuanya ini menunjukkan bahwa mengucap keduanya adalah satu keharusan ”.[ Asyarhul Mumti’ (3 / 211) MFK]

5. Adapun alasan secara nadzoriy maka berkata Zainuddin Al Munajja rohimahulloh : “ Adapun keberadaan mengucap salam kedua adalah wajib dalam satu riwayat maka berdasar . . . dan karena sholat adalah ibadah yang disyari’atkan didalamnya dua tahallul maka keduanya ( salam pertama dan kedua ) adalah wajib sebagaimana ibadah haji, juga dikarenakan salam kedua merupakan salah satu dari dua salam maka mengucapnya adalah wajib sebagaimana yang pertama ”.[kitab Al Mumti’ Fie Syarhil Muqni’ (1 / 478) cet. Maktabah al Asadiy] pernyataan senada juga diucapkan oleh syaikh Muhammad bin Ahmad As Safariniy rohimahulloh dalam Kasyful Litsamnya (2 / 326).
Kesimpulan secara umum bahwa dengan melihat dalil serta alasan masing – masing berikut munaqosyah terhadapnya maka nampak akan kuatnya pendapat yang menyatakan rukun atau wajib, dan perlu diketahui bahwa pendapat ini merupakan mufrodat madzhab ( pendapat madzhab yang menyelisihi tiga madzhab ; Abu Hanifah, Malik dan Syafi’iy ) sebagaimana disebutkan oleh syaikh Ali Al Mardawiy rohimahulloh dalam Al Inshofnya, syaikh Manshur Al Buhutiy rohimahulloh dalam Al Minahusy Syafiyat Bisyarh Mufrodat (223) cet. Kunuz Isybiliya dan diisyaratkan oleh syaikh Yusuf Ibnu Abdil Hadi rohimahulloh dalam Mughniy Dzawil Afhamnya (108) cet. Maktabah Adhwa’us Salaf .

III. Faedah “ Hikmah dan Makna Salam ”
Berkata syaikh Muhammad bin Ahmad As Safariniy Al Hambaliy rohimahulloh : “ { dan beliau sholallohu ‘alaihi wasallam senantiasa menutup sholatnya dengan mengucap salam } maka mengucap salam beliau jadikan sebagai tahallul untuk sholatnya, seorang yang mengerjakan sholat keluar dengannya dari sholatnya sebagaimana seorang yang mengerjakan manasik haji keluar dari hajinya dengan tahallul. Jadilah tahallul sholat ini sebagai doa dari sang imam teruntuk siapa saja yang bermakmum dibelakangnya, doa keselamatan yang ia merupakan dasar segala kebaikan dan azasnya. Hingga disyariatkanlah tahallul ini atas siapa saja yang bermakmum semisal dengan tahallulnya sang imam, didalam hal itu terkandung doa kebaikan untuk dirinya serta untuk orang – orang yang sholat bersamanya, doa keselamatan. Kemudian hal itu disyariatkan atas setiap orang yang mengerjakan sholat meskipun ia sendirian, maka tidak ada tahallul sholat yang lebih indah dibanding tahallul ini sebagaimana tidak ada yang lebih indah dibanding takbir sebagai tahrim untuknya. Jadi, tahrimnya adalah bertakbir kepada Alloh yang terkumpul didalamnya penetapan segala kesempurnaan untukNya, terkumpul didalamnya pensucianNya dari segala cacat dan kekurangan, terkandung didalamnya ketunggalan dan kekhususanNya akan hal itu juga pengagungan terhadapNya dan pemuliaan atasNya. Sehingga, takbir terkandung didalamnya perincian gerakan sholat, dzikir – dzikir sholat serta tata-cara sholat, jadi sholat sedari awalnya hingga berakhirnya adalah merupakan perincian bagi kandungan lafadz Allohu Akbar, sehingga tidak ada sesuatu yang lebih indah dibandingkan tahrim ini ! tahrim yang berisikan pengikhlasan dan tauhid. Lagi tidak ada sesuatu yang lebih indah dibanding ucapan salam sebagai tahallulnya, tahallul yang berisikan perbuatan kebajikan seseorang kepada saudara – saudaranya kaum mukminin ! kesimpulannya ; bahwa sholat dibuka dengan pengikhlasan dan ditutup dengan perbuatan kebajikan ”. [kitab Kasyful Litsam (2 / 326 – 327) cet. Nuruddin Tholib, Kuwait]

والله أعلم وصلى الله على محمد وعلى آله وسلم والحمد لله

sumber : www.manarussunnah.blogspot.com

HUKUM MENGUCAP SALAM KEDUA DIAKHIR SHOLAT BAG. 2

Penulis : Ust. Abu Unaisah Jabir

Dalil dan alasan yang diisyaratkan oleh masing – masing berikut munaqosyah atasnya adalah sbb :

A. Dalil dan alasan yang mentarjih riwayat sunnah :

1. Hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha riwayat Ahmad didalam Musnadnya (6 / 236) dengan lafadz
{ ثم يجلس فيتشهد ويدعو ثم يسلم تسليمة واحدة: السلام عليكم يرفع بها صوته حتى يوقظنا } الحديث
Terjemahannya : { . . . kemudian beliau duduk dan membaca tasyahud serta berdoa kemudian mengucap salam dengan sekali salam : assalamu’alaikum, beliau mengeraskan ucapan salamnya hingga membangunkan kami } dst.
Berkata syaikh Al Albaniy rohimahulloh : “ ini adalah sanad yang shohih ”.[kitab Irwa’ul Gholil (2 / 33 )]
Munaqosyah : 1. Lafadz yang shohih untuk hadits Aisyah ini adalah { يسلم تسليما يسمعناه } terjemahannya { mengucap salam yang beliau memperdengarkannya kepada kami } dengan alasan bahwa ini adalah riwayat Muslim dalam shohihnya (746), 2. Bahwa kebanyakan perowi hadits Aisyah meriwayatkannya dengan lafadz ini dan 3. Bahwa sanad tershohih dari antara sanad – sanad hadits ini adalah dengan lafadz ini, 4. Juga diniqosy dengan keputusan al Imam Ahmad yang mengarahkan hadits ini dengan bahwa beliau sholallohu ‘alaihi wasallam mengeraskan ucapan salam yang pertama dan memelankan ucapan salam yang kedua.[ lihat kitab Mustadrokut Ta’lil (187 – 190) karya syaikh DR. Ahmad Muhammad Al Kholil dan kitab Fat-hul Bariy Syarh Shohihil Bukhoriy karya syaikh Abdurrohman Ibnu Rojab Al Hambaliy, bab at Taslim, MSH ]
Munaqosyah kedua : Bahwa kejadian dalam hadits Aisyah tersebut andaikan shohih dengan satu kali salam maka itu hanyalah kejadian sekali sehingga tidak dapat diperluas hukum yang ditunjukkan olehnya dan tidak dapat menandingi hadits yang berupa ucapan.[lihat kitab Asyarhul Mumti’ karya syaikh Muhammad Ibnul ‘Utsaimin rohimahulloh (3 / 213) MFK]
Kesimpulan : Atas dasar munaqosyah diatas maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil dalam permasalahan ini. Wallohu a’lam

2. Hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha riwayat At Tirmidzi dalam Jami’nya (296) dan Ibnu Majah (919) dengan lafadz
{ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يسلم فى الصلاة تسليمة واحدة تلقاء وجهه , يميل إلى الشق الأيمن شيئا }
Terjemahannya : { Bahwa rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam mengucap salam dalam sholatnya dengan sekali salam menghadap kedepan dengan sedikit menoleh kearah kanan }.
Berkata syaikh Al Albaniy rohimahulloh : “ berkata Al Hakim : shohih sesuai persyaratan dua syaikh, disetujui oleh Dzahabiy dan Ibnul Mulaqin dalam Khulashoh ”.[kitab Irwa’ul Gholil (2 / 33)]

Munaqosyah : 1. Hadits ini adalah mungkar dengan alasan bahwa ia dari jalur periwayatan penduduk Syam dari Zuhair bin Muhammd, jalur ini adalah mungkar. 2. Riwayat Amr bin Abi Salimah dari Zuhair bin Muhammad dinyatakan oleh al Imam Ahmad sebagai riwayat – riwayat yang batil atau palsu dan beliau memasukkan hadits ini dalam kelompok riwayat – riwayat tersebut. 3. Abu Hatim merojihkan bahwa hadits ini adalah mauquf. [ lihat kitab Fat-hul Bariy karya Ibnu Rojab al Hambaliy, bab at taslim, MSH ]

Kesimpulan : Atas dasar munaqosyah diatas maka hadits ini tidak dapat dijadikan pendukung maupun dalil dalam permasalahan ini. Wallohu a’lam

3. Hadits Sahl bin Sa’ad rodhiyallohu ‘anhu riwayat Ibnu Majah dalam sunannya (918) dengan lafadz
{ أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يسلم تسليمة واحدة لا يزيد عليها }
Terjemahannya : { Bahwa ia mendengar rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam mengucap salam dengan satu kali salam tidak lebih atasnya }.
Munaqosyah : Hadits ini adalah lemah sekali sebab fatalnya kelemahan salah satu perowinya yang bernama Abdul Muhaimin bin Abbas. [ lihat kitab Syarhu Sunan Ibni Majah karya Al Mughlathoiy (1 / 1555) MSH dan kitab Mustadrokut Ta’lil (194) cet. Dar Ibnul Jauziy ]

Kesimpulan : Atas dasar munaqosyah diatas maka hadits ini tidak dapat dijadikan dalil dalam permasalahan ini. Wallohu a’lam

4. Hadits Salamah bin Al Akwa’ rodhiyallohu ‘anhu riwayat Ibnu Majah dalam sunannya (920) dengan lafadz
{ رأيت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صلى فسلم مرة واحدة }
Terjemahannya : { Aku melihat rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam sholat maka beliau mengucap salam satu kali }.
Berkata syaikh Al Mughlathoiy rohimahulloh : “ hadits ini sanadnya adalah shohih ”.[Syarh Sunan Ibnu Majah (1 / 1557) Mauwsu’ah Syuruh Hadits]
Munaqosyah : Hadits ini adalah lemah sekali disebabkan fatalnya kelemahan salah satu perowinya yang bernama Yahya bin Rosyid al Muzaniy. [ lihat Mustadrokut Ta’lil (194) ]
Dibantah : Dengan pernyataan Al Bukhoriy dalam kitab Tarikh Kabirnya tentang Yahya bin Rosyid al Muzaniy bahwa dia adalah perowi yang tsiqqoh. [ lihat Syarhu Sunan Ibni Majah karya Al Mughlathoiy (1 / 1557) ]
Dijawab : Bahwa penukilan Al Mughlathoiy adalah tidak benar namun yang dihukumi tsiqqoh oleh Al Bukhoriy adalah perowi yang lain yaitu Abu Bakr mustamlinya Abi ‘Ashim. Hal ini ditegaskan oleh syaikh Abdurrohman Al Mu’allimiy dalam tahqiqnya atas Tarikh Kabir, didukung pula bahwa Al Mizziy dan Ibnu Hajar tidak menyebut pentsiqohan Al Bukhoriy terhadap Yahya bin Rosyid ini dalam kitab keduanya. [ lihat catatan kaki Mustadrokut Ta’lil (195) ]

Kesimpulan : Atas dasar munaqosyah diatas maka hadits ini tidak dapat dijadikan dalil dalam permasalahan ini. Wallohu a’lam

Selain beberapa hadits diatas masih terdapat beberapa hadits lain yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama madzhab yang merojihkan riwayat ini namun secara ringkasnya pendalilan dengan hadits – hadits tersebut diniqosy dengan pernyataan para pakar hadits diantaranya :

a. Berkata al Imam Ahmad bin Hambal rohimahulloh : “ telah shohih disisi kami dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam dari lebih dari satu jalur periwayatan bahwa beliau senantiasa mengucap salam kekanan dan kekiri hingga terlihat putihnya pipi beliau ”.[ lihat kitab Al Mubdi’ (1 / 417) MFK dan Fat-hul Bariy karya Ibnu Rojab, Kitabush Sholat, Bab at Taslim, MSH ]

b. Berkata al Hafidz Abdurrohman Ibnu Rojab al Hambaliy rohimahulloh : “ Dan telah diriwayatkan dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengucap salam dalam sholatnya hanya satu kali, diriwayatkan dengan banyak sanad namun tidak ada satupun darinya yang shohih sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Ibnul Madiniy, Al Atsrom, Al Uqoiliy serta yang lain ”.[kitab Fathul Bariy syarh Shohihil Bukhoriy, kitabus sholat, bab (152) taslim, Mauwsu’ah Syuruh Hadits I]

c. Berkata syaikh Muhammad As Safariniy al Hambaliy rohimahulloh : “ Adapun hadits mengucap salam hanya satu kali maka ia adalah hadits yang ma’lul ( yi.lemah ) sebagaimana dijelaskan oleh Al ‘Uqoiliy dan Ibnu Abdul Barr, Ibnu Abdul Barr memaparkannya panjang lebar akan hal tersebut ”.[kitab Kasyful Litsam (2 / 328)]

d. Berkata Al ‘Uqoiliy rohimahulloh : “ Hadits – hadits yang shohih dari Ibnu Mas’ud dan dari Sa’ad bin Abi Waqqosh serta dari selain keduanya adalah dalam mengucap dua salam, dan tidaklah shohih satu haditspun bahwa beliau mengucap salam hanya satu kali ”.[kitab Dhu’afa’ (1 / 195) lihat kitab Mustadrokut Ta’lil (187)].

5. Diantara dalil yang disebut - sebut adalah ijma’ yang dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir.
Munaqosyah : Berkata syaikh Abdurrohman Ibnu Rojab Al Hambaliy rohimahulloh : “ Para ulama yang berpendapat wajibnya mengucap dua salam kebanyakan mereka berpandangan akan keabsahan sholat seseorang yang hanya mengucap satu salam, hal ini disebutkan oleh Ibnul Mundzir sebagai ijma’ dari kalangan ahlul ilmi. Namun sekelompok dari ahlul ilmi tersebut berpendapat bahwa seseorang tidaklah selesai dari sholatnya melainkan dengan mengucap kedua salam seluruhnya, pendapat ini diriwayatkan dari Al Hasan bin Haiy, salah satu riwayat dari dua pendapat al Imam Ahmad, sebagian ulama madzhab Malikiyyah dan sebagian ulama madzhab dzohiriyyah ”. [lihat kitab Fat-hul Bariy karya Ibnu Rojab ]
Kesimpulan : Bahwa dakwaan ijma’ atas kesunnahan mengucap salam kedua dalam sholat fardhu adalah perlu untuk dikaji ulang. Wallohu a’lam

Berkata syaikh Abul Hasan Ali bin Sulaiman Al Mardawiy rohimahulloh mengomentari penghikayatan ijma’ oleh Ibnul Mundzir dalam permasalahan ini : “ Saya katakan : ini adalah berlebih – lebihan dari beliau (Ibnul Mundzir), tidak terdapati ijma’ dalam hal ini. Berkata Al ‘Allamah Ibnul Qoyyim : dan ini merupakan kebiasaan beliau (Ibnul Mundzir) yaitu jika beliau melihat pendapat kebanyakan ulama maka beliau akan menghikayatkannya sebagai ijma’ ”.[kitab Al Inshof (2 / 85) MFK].

Bersambung, Insya Allah....................................................

Sumber : www. manarussunnah.blogspot.com

HUKUM MENGUCAP SALAM KEDUA DIAKHIR SHOLAT BAG. 1

Penulis : Ust. Abu Unaisah Jabir

Sesungguhnya diantara letak pertanyaan dikalangan penuntut ilmu seputar fikih sholat adalah hukum mengucap salam kedua diakhir sholat fardhu, maka dengan memohon taufiq kepada Alloh ‘azza wa Jalla kami berusaha untuk memaparkan diruang ini pembahasan tersebut dengan nukilan – nukilan dari para ulama madzhab Rohimahumulloh Wallohul Hadi Ilash showab.
Berkata Muwaffaquddien Abdulloh bin Qudamah al Maqdasiy rohimahulloh : “ Pasal ; Dan adapun yang wajib adalah mengucap salam yang pertama sedangkan salam yang kedua maka hukum mengucapnya adalah sunnah dengan dalil bahwa Aisyah, Sahl bin Sa’ad dan Salamah bin al Akwa’ mereka telah meriwayatkan bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam sholat lalu beliau mengucap salam hanya satu kali, juga dengan alasan bahwa ini adalah perkara ijma’ sebagaimana dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir. Riwayat pendapat kedua dari al Imam Ahmad : bahwa mengucap salam yang kedua hukumnya adalah wajib dengan dalil bahwa Jabir telah berkata : bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda
إنما يكفي أحدَكم أن يضع يده على فخذه ثم يسلم على أخيه من على يمينه وشماله
Terjemahannya : { cukup bagi seorang dari kalian untuk meletakkan tangannya diatas pahanya kemudian ia mengucap salam kepada saudaranya yaitu siapa yang berada disebelah kanannya dan sebelah kirinya } riwayat Muslim, juga dengan alasan bahwa sholat merupakan sebuah ibadah yang memiliki dua tahallul sehingga tahallul yang keduapun hukumnya adalah wajib seperti dalam haji ”.[ kitab Al Kafi (95) cet. Dar Ibnu Hazm]
Berkata syaikh Zainuddin Al Munajja rohimahulloh : “ Dan yang shohih didalam madzhab bahwa seluruh apa yang telah disebutkan adalah wajib kecuali mengucap salam kedua . . . adapun mengucap salam yang kedua maka Al Qodhi rohimahulloh menyatakan : riwayat itulah yang lebih shohih, artinya bahwa riwayat yang menetapkan hukum wajibnya mengucapkan salam kedua itulah yang lebih shohih dengan dalil hadits Jabir bin Samuroh juga dengan alasan bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam mengerjakannya dan senantiasa terus mengerjakannya. Berkata penulis ( Ibnu Qudamah rohimahulloh ) dalam kitabnya Al Mughniy : yang shohih bahwa mengucap salam kedua adalah sunnah dengan dalil bahwa diriwayatkan dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam beliau mengucap satu kali salam demikian pula para Muhajirun, hal ini menunjukkan akan ketidak wajibannya. Adapun apa yang diriwayatkan bahwa beliau sholallohu ‘alaihi wasallam mengucap dua salam maka dibawa kepada hukum sunnah agar didapatkan pengkompromian antara kedua perbuatan beliau ”.[ kitab Al Mumti’ Fisyarhil Muqni’ (1 /480) cet. Maktabah Al Asadiy]
Berkata Syaikh Abu Ishaq Ibrohim Ibnu Muflih rohimahulloh : “ Dan riwayat – riwayat yang paling shohih dari Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam adalah mengucap dua salam . . . berkata Ahmad : Telah shohih disisi kami lebih dari satu jalur periwayatan bahwa Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam adalah mengucap salam kekanan dan kekiri hingga terlihat putihnya pipi beliau ”.[kitab Al Mubdi’ Syarhul Muqni’ (1 / 417) Mauwsu’ah Fiqhiyyah Kubro III]
Berkata Syaikh Ibnu Najjar rohimahulloh : “ Yang ke-tiga belas dari rukun – rukun sholat adalah mengucap dua salam ”.[ kitab Ma’unatu Ulin Nuha Syarh Muntahal Irodat (2 / 203) cet. Maktabah al Asadi]
Berkata syaikh Muhammad As Safariniy rohimahulloh : “ Pendapat yang dipegang oleh madzhab adalah keharusan mengucap dua salam dalam sholat fardhu ”.[kitab Kasyful Litsam Syarh ‘Umdatil Ahkam (2 / 328) cet. Nuruddin Tholib, Kuwait]
Kesimpulan :
I. Mengucap salam diakhir sholat hukumnya adalah wajib termasuk rukun sholat menurut madzhab, ini adalah perkara yang disepakati dengan merujuk kepada kitab – kitab fikih madzhab pada sesi pemaparan rukun – rukun sholat.

Dalil – dalil dan alasan yang disebutkan dan diisyaratkan oleh para ulama madzhab rohimahumulloh bahwa mengucap salam hukumnya wajib diantaranya ;
1. Hadits Aisyah rodhiyallohu ‘anha riwayat Muslim dalam Shohihnya (498) dengan lafadz :
{ وكان يختم الصلاة بالتسليم }
Terjemahannya : { dan beliau sholallohu ‘alaihi wasallam senantiasa menutup sholatnya dengan mengucap salam }.
2. Hadits Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhu riwayat Ahmad dalam Musnad (1/123) Abu Dawud dalam Sunannya (61) Tirmidzi dalam Jami’nya (3) dan Ibnu Majah dalam Sunannya (275) dengan lafadz :
{ مفتاح الصلاة الطهور وتحريمها التكبير وتحليلها التسليم }
Terjemahannya : { kunci Sholat adalah bersuci, pengharamnya dari pekerjaan – pekerjaan diluar sholat adalah bertakbirotul ikhrom dan penghalalnya untuk perkara – perkara diluar sholat adalah mengucap salam }.
Berkata syaikh Muhammad bin Ahmad As Safariniy rohimahulloh : “ Hadits ini ditakhrij oleh para penulis kitab sunan dengan sanad yang hasan ”.[kitab Kasyful Litsam Syarh ‘Umdatil Ahkam (2 / 328) cet. Nuruddin Tholib, Kuwait]
3. Adapun alasan secara nadzor, maka berkata Ibnu Qudamah rohimahulloh : “ Karena mengucap salam merupakan salah satu dari dua ujung sholat maka didalamnya terdapati ucapan yang wajib seperti didalam ujung yang pertama ”.[kitab Al Kafiy (95)]

II. Mengucap salam kedua hukumnya adalah diperselisihkan dikalangan ulama madzhab yaitu antara rukun atau wajib atau sunnah atau sunnah dalam sholat nafilah saja, keempat pendapat ini merupakan empat riwayat dari al Imam Ahmad rohimahulloh. [lihat kitab Al Inshof karya syaikh Abul Hasan Ali bin Sulaiman Al Mardawiy rohimahulloh (2 / 84 – 85) MFK]

Bersambung Insya Allah..............................................

Sumber : www.manarussunnah.blogspot.com

Minggu, 19 Juni 2011

SEBAB-SEBAB MUNCULNYA TERORISME (DASAR-DASAR POKOK MANHAJ TERSELUBUNG BAG-1B).

Dan simak juga ucapan salah satu tokoh mereka, DR. Safar Al-Hawaly, dimana ia berkata dalam bukunya Wa’du Kaisanjar (Janji Kissinger) hal. 138 -salah satu buku idola Imam Samudra-, “Sesungguhnya apa yang menimpa kita, hal tersebut hanyalah karena perbuatan tangan-tangan kita sendiri, apa yang kita lakukan berupa dosa dan maksiat, keluar dari syari’at Allah, terang-terangan dalam melakukan apa yang diharamkan oleh Allah, loyalitas kepada musuh-musuh Allah, menyepelekan hak-Nya, dan kurang dalam dakwah di jalan Allah. Telah berserikat dalam hal tersebut pemerintah, rakyat, seorang alim, yang jahil, yang kecil, yang besar, laki-laki, dan perempuan dengan ada bentuk perbedaan antara mereka…

Sungguh telah nampak kekufuran dan ilhad di koran-koran kita, tersebar kemungkaran di tengah-tengah kita, dan kita diseru kepada perzinaan di radio dan telivisi kita serta kita telah membolehkan riba hingga bank-bank negara-negara kafir tidaklah jauh dari rumah Allah yang terhormat (ka’bah) kecuali hanya beberap langka yang terhitung. Adapun berhukum kepada syari’at, itu adalah seruan klasik. Yang haq, sungguh tidak tersisa di tengah kita dari syari’at kecuali apa yang dinamakan oleh para pengikut hukum thogut buatan manusia sebagai ‘kondisi-kondisi pribadi’ dan sebagian hukum-hukum had yang hanya diinginkan untuk menertibkan keamanan.[6]”

Perhatikan ucapan orang yang tidak tahu diri dan tidak pernah mengingat berbagai kebaikan dan nikmat yang ia dapatkan dari negeri haramain (KSA). Dan betapa besar musibah yang menimpa umat tatkala orang-orang sepertinya menjadi rujukan dan idola anak-anak muda yang tabiatnya condong kepada semangat belaka dan mengikuti perasaan tanpa ilmu.

Demikianlah komentarnya terhadap pemerintahan Saudi Arabia, entah bagaimana sikapnya terhadap pemerintah-pemerintah lainnya.

Dan semisal dengannya, seorang tokoh lain yang disebut dengan nama Salman Al-‘Audah[7] -sebagian makalahnya telah menjadi pembukaan buku Imam Samudra “Aku melawan teroris”-, ketika ia ditanya dengan nash “Tidak luput dari pengamatan anda tentang peraturan di Libya dan apa yang terkandung padanya berupa peperangan terhadap Islam dan kaum muslimin. Apa kewajiban kaum muslimin di sana? Ataukah mereka sebaiknya lari membawa agamanya?”, ia menjawab, “Ini terjadi pada setiap negara.[8]”

Dan tidak kalah bejatnya ucapan lainnya, “Masyarakat-masyarakat Islam berada di suatu lembah dan para pemerintahnya berada di lembah lain. Karena mereka tidaklah melukiskan hakikat perasaan-perasaan masyarakat Islam yang berada di hati mereka dan mereka tidak melaksanakan hakikat agama yang mereka bernisbat kepadanya.[9]”

Dan simak pula ucapannya yang tidak memperkecualikan siapapun, “Bendera-bendera yang terangkat di alam Islam pada hari ini -panjang dan lebarnya-, semuanya adalah bendera sekularisme.[10]”

Maksud dan buah dari ucapan-ucapan di atas sama dengan Ucapan Muhammad Surur dan Safar Al-Hawaly. Dan jangan heran, mereka memang satu aliran di bawah bendera mafia terorisme.

Dan tidak kalah gilanya, ucapan tokoh pembuat kerusakan dan teror di masa ini, yaitu Usamah bin Ladin[11]. Ia berkata dalam wawancaranya bersama Al-Jazirah pada tanggal 5/12/1423 H (7/2/2003 M), “Perselisihan kita dengan para penguasa bukanlah pada masalah cabang yang mungkin bisa diselesaikan. Sesungguhnya kami hanya berbicara tentang dasar Islam syahadat ‘Lâ Ilâha Illallâhu Wa Anna Muhammadan Rasulullâh’, sedang para penguasa itu telah membatalkan syahadat tersebut dari dasarnya dengan loyalitas mereka kepada orang-orang kafir, mereka men-tasyrî’ (mensyari’atkan) hukum-hukum buatan, dan membenarkannya serta mereka berhukum kepada hukum-hukum Amerika Serikat. Maka kepemimpinan mereka telah gugur secara syari’at dari semenjak dahulu sehingga tiada jalan untuk tinggal dibawahnya.[12]”

Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn, semoga Allah memberikan pahala yang besar dalam musibah yang menimpa kita ini.

Dan guru kami, ahli hadits dan mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhohullâh, dalam cacatan keempat belas beliau menjelaskan sebagian dari lembaran-lembaran hitam gerakan Ikhwanul Ikhwanul Muslimin dan tokoh-tokohnya, beliau menyebutkan bahwa di antara kebiasan mereka adalah “menelusuri dan mencari-cari kesalahan penguasa untuk membuat itsârah (keonaran, kebencian, kerusakan) terhadap mereka.[13]”

Dan apa yang beliau sebutkan sangat benar dan mencocoki kebenaran. Silahkan baca dan telaah buku-buku mereka niscaya engkau akan menemukannya. Andaikata bukan karena kekhawatiran tulisan ini menjadi panjang maka tentu kami akan merincinya. Dan cukuplah bagi kita di Indonesia majalah mereka “Majalah Sabili” yang sarat dengan hal tersebut.

[1] Terpetik dari ceramah yang berjudul “Al-Manhaj Al-Khafiy wa Atsruhu fii Shonâ’atil Irhâb (Manhaj terselubung dan pengaruhnya dalam memproduksi terorisme)” oleh Syaikh Sulthôn bin ‘Abdurrahmân Al-‘Ied hafizhohullâh dan ceramah “Al-Marâhil Al-Mu`addiyah Ilat Tafjîr” oleh DR. Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily hafizhohullâh.

[2] Hadits ‘Auf bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim no. 1855.

[3] Majalah As-Sunnah edisi 26 tahun 1413H hal. 2-3. dengan perantara kitab Al-Quthbiyah hal. 86. Dan kitab Al-Quthbiyah adalah salah buku yang sangat ilmiyah dalam menjelaskan kesalahan-kesalahan ideologi sejumlah tokoh pembela dan pelaris pemikiran Sayyid Quthub. Hingga hari, tidak seorang pun dari mereka yang mampu membantah kitab ini, selain suara-suara sumbang yang meneriakkan bahwa penulisnya adalah orang yang tidak dikenal, memakai nama samaran…dst dari teriakan-teriakan klasik orang-orang yang telah kehabisan pena dan argumen. Ketahuilah bahwa penulisnya adalah seorang Doktor dan Alim yang sangat berakhlak di kota Madinah serta dikenal di kalangan para ulamanya. Dan juga andaikata penulisnya tidak diketahui, maka yang menjadi ukuran adalah data dan bukti ilmiyah yang sangat otentik lagi akurat yang terdapat padanya.

[4] Majalah As-Sunnah edisi 43 Jumadits Tsani tahun 1415H hal. 27-29. dengan perantara Al-Quthbiyah hal. 87.

[5] Dan dalam buku “MEMBONGKAR JAMAAH ISLAMIYAH, Pengakuan Mantan Anggota JI” karya Nasir Abas hal. 165, ada penyebutan kamp latihan Al-Fatah milik kelompok Wahdah Islamiyah di Moro, Filipina. Dan ada beberapa hal lain tentang kelompok ini, semoga Allah memberi kemudahan untuk menjelaskannya dalam sebuah buku tersendiri.

[6] Dengan perantara Al-Quthbiyah hal. 90.

[7] Syaikh Ibnu Baz rahimahullâh pernah ditanya “Apakah ada catatan-catatan atau kesalahan-kesalahan pada Salman Al-‘Audah dan Safar Al-Hawaly?” Beliau menjawab, “Iya, iya. Mereka berpandangan jelek terhadap penguasa, berpahaman jelek terhadap negara, mengobarkan (semangat jelek) pada anak-anak muda dan memanas-manasi hati masyarakan umum. Dan ini termasuk manhaj (metodologi) kaum Khawarij. Kaset-kaset mereka mewahyukan hal tersebut.” Kemudian beliau ditanya lagi, “Wahai Syaikh, apakah hal tersebut telah mengantar mereka ke suatu bid’ah” Beliau menjawab, “Tidak diragukan bahwa ini adalah bid’ah yang merupakan kekhususan kaum Khawarij dan Mu’tazilah. Semoga Allah memberi hidayah kepada mereka, semoga Allah memberi hidayah kepada mereka.” Di antara ulama besar yang pernah saya jumpai dan pernah memberikan catatan-catatan terhadap Salman Al-‘Audah dan Safar Al-Hawaly adalah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Sholih Al-Fauzân, Syaikh Muqbil, Syaikh Ahmad An-Najmy, Syaikh Zaid bin Muhammad Al-Madkhaly, Syaikh Rabi’ Al-Madkhaly dan Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad. Beberapa catatan mereka bisa dibaca pada tulisan dengan judul “Ithâful Basyr Bi Kalâmil Ulamâ` Fi Safar wa Salmân” dari www. Sahab.net.

[8] Dalam kasetnya yang berjudul “Limadza Yakhâfuna Minal Islâm”, dinukil dari kitab Al-Quthbiyah hal. 90-91.

[9] Dalam kasetnya yang berjudul “Al-Ummah Al-Ghâ`ibah”, dinukil dari kitab Al-Quthbiyah hal. 91.

[10] Dalam kasetnya yang berjudul “Yaa Lajarahâtul Muslimîn”, dinukil dari kitab Al-Quthbiyah hal. 91.

[11] Berkata Syaikh Ibnu Baz rahimahullâh, “Sesungguhnya Usamah bin Ladin termasuk para pembuat kerusakan yang memilih jalan-jalan kejelekan yang rusak dan keluar dari ketaatan kepada Waliyyul Amri.” Dan beliau juga berkata, “Nasehat saya untuk Al-Mis’ary, Al-Faqih, Ibnu Ladin dan seluruh yang menempuh jalan mereka, untuk meninggalkan jalan buruk itu, dan hendaknya mereka bertakwa kepada Allah, berhati-hati dari siksaan dan kemurkaan-Nya, dan hendaknya mereka kembali kepada jalan yang lurus serta bertaubat kepada Allah dari apa yang telah lalu. Allah menjanjikan hamba-hamba-Nya yang bertaubat untuk menerima taubat mereka dan berbuat baik kepada mereka, sebagaimana dalam firman (Allah) Subhânahu, “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kalian kepada Rabb kalian, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepada kalian kemudian kalian tidak dapat ditolong (lagi).” dan (Allah) Subhânahu berfirman, “Dan bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.”. Dan ayat-ayat yang semakna dengannya sangatlah banyak.” [] Guru kami, Syaikh Muqbil bin Hady berkata, “Saya berlepas diri kepada Allah dari Ibnu Ladin, ia adalah kemalangan dan petaka terhadap umat, dan amalan-amalannya adalah kejelekan.” []

[12] Baca http://www.aljazeera.net/programs/hour_issues/articles/2003/2/2-22-1.htm.

[13] Al-Maurid Al-Adzab Az-Zulâl hal. 186.

[sumber: http://jihadbukankenistaan.com/terorisme/sebab-sebab-munculnya-terorisme-dasar-dasar-pokok-manhaj-terselubung-bag-1.html]

Selasa, 14 Juni 2011

SEBAB-SEBAB MUNCULNYA TERORISME (DASAR-DASAR POKOK MANHAJ TERSELUBUNG BAG-1A)

Dasar-dasar pokok manhaj terselubung tersebut dibangun di atas beberapa perkara[1].

Satu : Membuat umat benci kepada para penguasa.

Pelaksanaan dan ciri penganut manhaj terselubung ini pada setiap masa adalah menampakkan kejelekan-kejelekan para penguasa dan membeberkannya di mimbar-mimbar, diskusi, pertemuan dan di berbagai majelis, membuat umat benci kepada para penguasanya dengan berbagai pensifatan “Pengkhianat Bangsa dan Negara”, “Menjual Bangsa dan Negara untuk kepentingan asing”, “Penyebab malapetaka dan bencana untuk rakyat”, dan sebagainya dari kamus cercaan yang belum pernah sampai ke huruf Z. Demikian pula menyembunyikan kebaikan para penguasa serta tidak menampakkannya. Sehingga kebaikan apa saja yang terjadi di suatu negeri berupa penegakan keamanan, terlaksananya sholat-sholat wajib di berbagai tempat, pembangunan masjid-masjid, santunan kepada sebagian orang miskin dan lain-lainnya, tidak akan pernah disebut oleh para pengikut manhaj terselubung ini, para pelaku fitnah yang tidak akan menghafal adanya kebaikan pada siapapun.

Perhatikanlah para pembaca yang terhormat –semoga Allah merahmati engkau-, betapa besar bahaya yang mengancam umat apabila mereka terdidik untuk benci dan menentang para penguasanya. Dan apabila hanya dendam, kebencian, laknat dan anggapan bahwa para penguasa adalah sebab malapetaka dan musibah yang menimpa kaum muslimin yag bercokol dalam hati dan pikiran mereka, maka sungguh hanya kerusakan dan kehancuran yang akan terjadi. Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam telah mengingatkan,

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ وُتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ قَالُوْا قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامَ فِيْكُمُ الصَّلَاةَ لَا مَا أَقَامَ فِيْكُمُ الصَّلَاةَ أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِيْ شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِيْ مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cinta kepada mereka dan mereka (juga) cinta kepada kalian, kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka (juga) mendoakan kebaikan untuk kalian. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian benci kepada mereka dan mereka juga benci kepada kalian, kalian melaknat mereka dan mereka juga melaknat kalian. Kami bertanya, “Wahai Rasulullâh, tidakkah kita melawan mereka dalam keadaan demikian.” Beliau menjawab, “Tidak, sepanjang mereka masih menegakkan sholat, tidak, sepanjang mereka masih menegakkan sholat. Ingatlah, siapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin lalu ia melihatnya melakukan sesuatu dari kemaksiatan kepada Allah, maka handaknya ia benci kepada maksiat yang dia lakukan dan jangan sekali-kali ia melepas tangan keta’atan.[2]”

Dan perlu dipahami, bahwa salah satu sebab pokok munculnya terorisme berdasarkan sejarah dan berbagai kejadian yang melanda kaum muslimin hingga saat ini adalah karena adanya sekelompok orang yang senantiasa menanamkan kebencian kepada penguasa dengan sejuta slogan memukau dan kadang mengatasnamakan agama dan menampilkan kebenaran. Yang hakikatnya mereka adalah serigala berjubah penasehat.

Ambillah contoh dari sejarah, khalifah Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam yang ketiga, ‘Utsmân bin ‘Affân radhiyallâhu ‘anhu, seorang sosok yang penuh dengan kemuliaan dan keutamaan. Perhatikan, bagaimana beliau dibunuh oleh orang-orang khawarij dengan penuh kekejian dan kesewenang-wenangan. Bukankah kita semua tahu bahwa sebab mereka membunuh ‘Ustman radhiyallâhu ‘anhu yang bergelar Dzun Nurain (pemilik dua cahaya) ini hanya lahir karena kebencian dan hasutan yang ditanam oleh orang-orang Khawarij tersebut yang dipelopori oleh ‘Abdullah bin Saba, seorang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam!

Dan perhatikan bagaimana buah dari kebencian yang ditanamkan kepada penguasa sehingga orang-orang Khawarij bersepakat untuk memerangi ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallâhu ‘anhu tanpa menoleh kepada keutamaan dan terdahulunya beliau dalam keislaman dan membela Islam dan kaum muslimin!

Dan sungguh tulisan ini akan menjadi tebal dan mungkin berjilid-jilid, bila kita menyebutkan dan meneliti secara detail peristiwa demi peristiwa yang telah lalu hingga masa kita ini.

Namun kami harus menyebutkan bagaimana para tokoh pemikiran manhaj terselubung masa sekarang yang mendidik umat di atas dasar pokok mereka yang sesat lagi bejat tersebut. Perlu diketahui bahwa para pelaku terorisme yang terjadi di negeri-negeri kaum muslimin dewasa ini tidaklah lepas dari pemikiran tokoh-tokoh tersebut, termasuk para pelaku peledakan dan terorisme di negeri kita Indonesia.

Berikut ini, perhatikan bagaimana ucapan-ucapan dan pendidikan mereka terhadap pengikutnya dalam menanamkan kebencian kepada para pengusa.

Berkata Muhammad Surur Zainul Abidin, pencetus paham Sururiyah, “…Dari sela-sela point-point pilihan ini, para pembaca akan memahami banyak hal yang berkembang di alam Islam. Ini, dan penghambaan pada hari ini terdiri dari beberapa derajat dalam bentuk piramida,

Derajat pertama : Duduk bersila di atasnya presiden Amerika Serikat, Josh Bush, dan mungkin besok Clinton.

Derajat kedua : Adalah tingkatan para penguasa di negeri-negeri Arab. Mereka meyakini bahwa manfaat dan bahaya mereka berada di tangan Bush. Karena itu mereka berhaji dan mempersembahkan berbagai nadzar dan taqarrub kepadanya.

Derajat ketiga : Catatan kaki para penguasa Arab dari kalangan menteri-menteri, wakil-wakil menteri, pemimpin pasukan dan para penasehat. Mereka ini melakukan kemunafikan demi tuan-tuan mereka dan memperindah segala kebatilan mereka tanpa rasa malu, takut dan tanpa sopan santun.

Derajat kempat, kelima dan keenam : Para pegawai tinggi dikalangan para menteri. Mereka mengetahui syarat pertama untuk menjadi tinggi, yaitu kemunafikan, penghinaan diri dan melaksanakan perintah yang dikeluarkan kepada mereka…[3]”

Perhatikan ucapan di atas yang menunjukkan ia mengkafirkan para pemerintah Arab, menteri-menterinya, dan seterusnya, yang artinya bahwa para penguasa tersebut tidak mempunyai hak untuk didengar dan dita’ati. Dan tidak diragukan bahwa ini adalah seruan untuk membangkang dan menentang penguasa.

Dan Muhammad Surur juga berkata, “Temanku bertanya, “Bagaimana pendapatmu terhadap ucapan ini, ‘andaikata anak-anak ‘Abdul ‘Aziz (yaitu para pemerintah Saudi Arabia, -pent.) selamat dari teman duduk sekuler yang mengitari mereka, tentu perkara-perkara yang terjadi tidak seperti ini.’?” Maka saya menjawab, “Wahai ayah, sesungguhnya mereka itu lebih bejat dari teman duduk sekuler mereka. Karena kenapa mereka memilih orang-orang rusak, para sekularis dan orang munafiqin, tidak (memilih) selain mereka!. Karena itu saya menegaskan bahwa anak-anak ‘Abdul ‘Aziz lebih bejat dari teman duduknya, sebab keyakinan kedua golongan ini sama. Dan dari sisi kedua, anak-anak ‘Abdul ‘Aziz merekalah yang mewajibkan kepada umat keputusan-keputusan sewenang-wenang yang mereka berserikat dengan para sekularis dalam merancang dan menyiapkannya.[4]”

Saudara pembaca yang terhormat, ketahuilah bahwa sekularisme adalak kekufuran dan para sekularis adalah kafir. Kalau pemerintah Saudi Arabia yang tercatat sebagai negara Islam yang paling baik menerapkan syari’at Islam pada masa ini, keadaan mereka lebih bejat dari para sekularis, maka silahkan anda menebak kira-kira bagaimana sikap Muhammad Surur terhadap negara-negara Islam lainnya. Dan ukurlah bagaimana sikap para penganut pemikirannya di berbagai belahan bumi ini.

Betapa besar kebencian orang ini kepada pada penguasa muslim dan betapa besar semangatnya dalam memuat dan menebarkan racun ganas tersebut di tubuh umat. Dan sangat disayangkan bahwa bendara paham Sururiyah ini telah lama berkibar dan membuat finah dan kerusakan diberbagai negara termasuk di Indonesia, dan majalah As-Sunnah telah menjadi rujukan dan idola banyak pihak, seperti Yayasan Ash-Shofwa (Jakarta), Yayasan Wahdah Islamiyah (Makassar)[5] dan lain-lainnya.

Ketahuilah hal ini dan siapkanlah perlindungan guna menangkal bahaya mereka.

Bersambung Insya Allah..........................................

[12] Baca http://www.aljazeera.net/programs/hour_issues/articles/2003/2/2-22-1.htm.

[13] Al-Maurid Al-Adzab Az-Zulâl hal. 186.

[sumber: http://jihadbukankenistaan.com/terorisme/sebab-sebab-munculnya-terorisme-dasar-dasar-pokok-manhaj-terselubung-bag-1.html]

SEBAB-SEBAB MUNCULNYA TERORISME (SEBAB 6)

Sebab Keenam : Hizbiyah terselubung.

Hizbiyah yang menjamur pada kelompok, yayasan, organisasi, golongan dan jama’ah-jama’ah yang menisbatkan dirinya kepada Islam adalah penyakit dan malapetaka yang sangat besar bagi siapa saja yang terjerembab ke dalamnya.

Bentuk-bentuk hizbiyah yang pondasinya dibangun di atas dasar perselisihan dan perpecahan, keluar dari jama’ah kaum muslimin dan membangun ikatan loyalitas untuk dirinya, kelompok atau jama’ahnya adalah suatu hal yang tercela dalam Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Âli Imrân : 105)

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’âm : 153)

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’âm : 159)

“Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Rûm : 31-32)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, “Tidaklah boleh bagi para guru untuk membuat manusia berkelompok-kelompok dan berbuat apa-apa yang menyebabkan terjadinya permusuhan dan kebencian, bahkan hendaknya mereka seperti sesama saudara yang tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.[1]”

Syaikh Ibnu Bâz rahimahullâh menyatakan, “Dan dari hal yang tidak diragukan lagi bahwa banyaknya kelompok-kelompok dan jama’ah-jama’ah dalam masyarakat Islam termasuk hal yang syaithôn sangat bersemangat terhadapnya -pertama- dan -kedua- oleh musuh-musuh Islam.[2]”

Dan Syaikh Al-Albâny rahimahullâh mengingatkan, “Tidaklah luput dari setiap muslim yang mengetahui Al-Kitâb dan As-Sunnah serta apa-apa yang para salaf yang sholih radhiyallâhu ‘anhum berada di atasnya bahwa hizbiyah dan pengelompokan pada jama’ah-jama’ah yang -pertama- mereka beraneka ragam pemikirannya, kemudian –kedua- beraneka ragam manhaj dan uslubnya adalah sama sekali bukan dari Islam, bahkan hal tersebut termasuk perkara yang dilarang oleh Rabb kita ‘Azza wa Jalla dalam banyak ayat dari Al-Qur`ân Al-Karîm.[3]”

Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullâh, “Berbilangnya jama’ah-jama’ah adalah fenomena yang sakit, bukan fenomena yang sehat. Dan yang saya pandang, hendaknya umat Islam menjadi kelompok yang satu (saja), mengacu kepada kitab Allah dan Sunnah Rasulullâh-Nya shollallâhu ‘alaihi wa sallam.[4]”

Dan guru kami, Syaikh Shôlih Al-Fauzân hafizhohullâh berkata, “Maka jama’ah-jama’ah dan perpecahan di alam Islam yang terjadi pada hari ini tidaklah dibenarkan oleh agama Islam, bahkan (Islam) melarang hal tersebut dengan larangan yang sangat keras dan memerintah untuk bersatu di atas ‘aqidah tauhid dan manhaj Islam sebagai satu jama’ah dan satu umat, sebagaimana yang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ perintahkan kepada kita. Adapun perpecahan dan berbilangnya jama’ah, itu hanyalah tipu daya syaithôn jin dan manusia terhadap umat ini.[5]”

Dan Syaikh Rabî’ bin Hâdi Al-Madkhaly hafizhohullâh menyatakan, “Maka secara global, ulama Islam dan ulama Sunnah yang terdahulu dan yang belakangan tidaklah membolehkan perpecahan ini, tidak pula (membolehkan) hizbiyah ini, dan tidak pula (membolehkan) jama’ah-jama’ah yang beraneka ragam manhaj dan keyakinannya ini. Karena Allah telah mengharamkan hal tersebut, demikian pula Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa sallam. Dan dalil-dalil (tentang hal tersebut) sangatlah banyak.[6]”

Suatu perkara yang terselubung hanyalah menunjukkan jeleknya perkara tersebut, demikian pula halnya hizbiyah yang terselubung. Berkata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz (w. 101 H) rahimahullâh, “Apabila engkau melihat suatu kaum yang berbisik-bisik tentang suatu masalah agama tanpa khalayak umum, maka ketahuilah bahwa mereka sedang merintis suatu kesesatan.[7]”

Dan manhaj hizbiyah yang terselubung ini sangat berpotensi untuk melahirkan berbagai bentuk sikap ekstrim dan berlebihan yang akan berakhir kepada terorisme dan peledakan.

Berikut penjelasan bahwa hizbiyah terselubung ini adalah salah satu sebab terorisme pada masa dahulu, terlebih lagi pada masa sekarang.

[1] Majmû’ Fatâwâ 28/15-16.

[2] Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah 5/204.

[3] Fatâwâ Syaikh Al-Albâny hal. 106.

[4] Ash-Shohwah Al-Islamiyah hal. 155.

[5] Sebagaimana dalam kitab Jamâ’ah Wâhih Laa Jamâ’ât hal. 184.

[6] Jamâ’ah Wâhih Laa Jamâ’ât hal. 184. Nukilan ini dan beberapa nukilan sebelumnya melalui perantara makalah Samîr Al-Mabhûh dengan judul “Firra Minal Hizbiyah Firâraka Minal Asad.”

[7] Riwayat Ahmad dalam Az-Zuhud 1/289, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/338 dan Al-Lâlakâ`iy 1/135. Dan riwayat Al-Auzâ’iy dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz ada keterputusan.

[sumber: http://jihadbukankenistaan.com/terorisme/sebab-sebab-munculnya-terorisme-sebab-6.html]

SEBAB-SEBAB MUNCULNYA TERORISME (SEBAB 4-5)

Sebab Keempat : Jauh dari ulama.

Sesungguhnya para ulama mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di tengah umat dan telah dipuji dan dijelaskan keutamaan mereka dalam berbagai nash ayat maupun hadits. Karena itu kita diperintah untuk merujuk kepada mereka dalam segala urusan. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

“Maka bertanyalah kalian kepada orang-orang yang berilmu, jika kalian tiada mengetahui.” (QS. An-Nahl : 43, Al-Anbiyâ` : 7)

Pada perkara yang penting dan menyangkut kemashlahatan umat, kita diwajibkan untuk menyerahkan urusannya kepada para ulama,

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisâ` : 83)

Dan Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menyatakan,

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

“Berkah itu bersama orang-orang tua (ulama) kalian”[1].

Dan fitnah akan bermunculan apabila para ulama sudah tidak lagi dijadikan sebagai rujukan, sebagaimana yang diterangkan oleh Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dalam sabdanya,

سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الْأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِيْ أَمْرِ الْعَامَّةِ

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, (dimana) akan dibenarkan padanya orang yang berdusta dan dianggap dusta orang yang jujur, orang yang berkhianat dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap berkhianat dan akan berbicara Ar-Ruwaibidhoh. Ditanyakan : “Siapakah Ar-Ruwaibidhoh itu?” Beliau berkata : “Orang dungu yang berbicara tentang perkara umum.[2]”

Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam juga mengingatkan,

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari para hamba akan tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut (mewafatkan) para ulama sampai bila tidak tersisa lagi seorang alim maka manusiapun mengambil para pemimpin yang bodoh maka merekapun ditanya lalu mereka memberi fatwa tanpa ilmu maka sesatlah mereka lagi menyesatkan.[3]”

Dan perlu kami ingatkan disini, bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Mereka adalah para ahli fiqih Islam dan ucapan-ucapan mereka adalah fatwa yang berputar di tengah manusia, yang mempunyai kekhususan dalam mengambil pendalilan hukum dan sangat menjaga (berhati-hati) dalam menetapkan kaidah-kaidah halal dan haram.[4]”

Dan beliau berkata, “Orang yang alim terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan perkataan para shahabat, maka dialah mujtahid (ahli ijtihad) pada perkara-perkara Nawâzil (masalah kontemporer).[5]”

Berkata Ath-Thobary, “Mereka adalah tiang agama dalam fiqih, ilmu, perkara-perkara agama dan dunia.[6]”

Berkata Adz-Dzahaby, “Ilmu bukanlah dengan banyak riwayat, akan tetapi ia adalah cahaya yang Allah lemparkan ke dalam hati. Syaratnya adalah ittibâ’ (mengikuti Al-Qur`ân dan As-Sunnah) dan lari dari hawa nafsu dan perbuatan bid’ah.[7]”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan diantara sifat mereka, “Orang yang mempunyai lisan kejujuran yang merata, dimana ia disanjung dan dipuji oleh kebanyakan umat. Mereka itulah para imam petunjuk dan lentera penerang.[8]”

Ingatlah… orang-orang yang hanya punya keahlian menggetarkan mimbar-mimbar ceramah belum tentu ulama. Demikian pula orang-orang yang baru menulis satu atau dua buku, punya keahlian membicarakan masalah-masalah kekinian, lantang menentang dan menampilkan sikap, punya kelompok, partai, golongan dan seterusnya. Maka jangan salah menilai seperti keadaan banyak manusia pada zaman ini.

Juga perlu kami ingatkan bahwa banyak hal yang menyebabkan jauhnya umat dari para ulama. Di antaranya adalah jauhnya kebanyakan umat dari ilmu syar’iy dan mereka lebih sibuk dengan urasan dunia atau berkiblat kepada selain kiblat kaum muslimin. Juga banyak di antara mereka yang bersandar pada kemampuannya sendiri sehingga memahami agama hanya dengan jalur membaca sendiri (otodidak) tanpa mempedulikan penting dan perlunya memahami ilmu itu dari ulama para pewaris nabi. Sebab yang paling banyak menjerumuskan umat kita kepada penyimpangan dan keberpalingan dari para ulama adalah adanya para penyeru kepada kesesatan yang berusaha menampilkan diri sebagai tokoh-tokoh umat dan menjauhkan para pemuda dari ulamanya. Dan insya Allah kami akan lebih merinci masalah ini.

Sebab kelima : Mengikuti ideologi menyimpang.

Suatu hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa seluruh kelakuan, gerak dan perbuatannya diatur oleh pemikiran dan keyakinannya, sehingga manusia itu pasti tergiring oleh pemikirannya, baik ataupun rusak pemikiran tersebut.

Karena itu, salah satu sebab penting timbulnya terorisme adalah kerusakan dan kesesatan pemikiran serta samarnya kebenaran dari kebatilan terhadap para pelaku terorisme tersebut.

Kerusakan ideologi ini muncul karena beberapa faktor pokok,

Satu : Adanya kerancuan dalam manhajut talaqqi (metode pengambilan ilmu). Dimana orang-orang yang menyimpang dalam ideologinya tersebut mengambilnya dari sumber-sumber yang salah atau menimba ilmu dari orang-orang yang menganut pemikiran rusak atau keyakinan sesat, bukan dari alim ulama yang dikenal dengan keluasan ilmunya, keteguhan manhaj dan sebagai penasehat umat. Mereka pun kemudian melampaui batas dengan ideologinya dan larut dalam hawa nafsunya. Maka wajar kalau mereka terjerumus dalam berbagai penyimpangan dan kesesatan serta berucap atas nama Allah tanpa ilmu. Dan hasilnya, mereka akan sesat dan menyesatkan.

Dua : Mengambil nash secara tekstual tanpa fiqih yang mendalam, tidak menggunakan kaidah-kaidah pemetikan/penyimpulan hukum dari sebuah dalil dan tidak memperhitungkan pemahaman ulama dalam masalah tersebut serta tidak pernah menoleh kepada alasan-alasan manusia yang kadang jatuh dalam sebuah kesalahan karena suatu udzur syar’iy.

Perlu diketahui bahwa metodologi seperti ini sangatlah berbahaya dan merupakan sebab penyimpangan dan kesesatan yang sangat fatal. Betapa banyak kerusakan yang menggerogoti manusia dalam masalah pengkafiran terhadap kaum muslimin, menghalalkan darah-darah yang diharamkan untuk ditumpahkan dalam hukum syari’at, dan sejumlah masalah besar lainnya. Dan sangat menyedihkan karena seluruh sumber kerusakan tersebut adalah karena ideologi yang menyimpang ini.

Tiga : Perang pemikiran dan tipu daya iblis yang menjangkit di tengah umat melalui jalur para dai penyeru kepada kesesatan yang menganut berbagai bentuk penyimpangan yang bisa mendorong manusia kepada peledakan, perusakan dan seterusnya dari aksi-aksi terorisme.

Empat : Mengikuti hawa nafsu. Yaitu kadang seseorang mengetahui yang benar, namun hawa nafsu lebih mendominasi pada dirinya sehingga ia lupa pada kebenaran tersebut atau sengaja melupakannya. Dan akhirnya, ia akan mencari alasan-alasan yang membenarkan perbuatannya yang bejat.

Yang jelas, apapun faktor yang mendasari penyimpangan ideologi tersebut, tidaklah hal tersebut dibenarkan oleh syari’at, walaupun pelakunya menganggap dirinya berada di atas kebenaran. Dan Allah ‘Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang sekelompok penduduk neraka yang mendapat siksaan yang pedih, sedang mereka menganggap dirinya berada di atas kebenaran,

“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Kahfi : 103-105)

[1] Hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Ausath 9/no. 8991, Ibnu ‘Ady dalam Al-Kamil 2/77, 5/259, Al-Hâkim 1/62, Ibnu Hibbân no. 559, Al-Bahaiqy dalam Syu’abul Îmân 7/463, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/171-172, Al-Qadhâ’iy dalam Musnad Asy-Syihâb 1/57, As-Sam’âny dalam Adabul Imlâ` hal. 120, Al-Khathîb 11/165 dan lain-lain. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Silsilah Ahâdîts Ash-Shohîhah no. 1778.

[2] Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Ahmad 2/291, 338, Ibnu Majah no.4036, Al-Hakim 4/465-466, 512 dan lain-lainnya. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shohîhah no. 1887 dan guru kami, Syaikh Muqbil rahimahullâh dalam kitabnya Ash-Shohîh Al-Musnad Mimmâ Laisa Fi Ash-Shohihain. Dan Syaikh Al-Albany menshohihkan jalan lain bagi hadits di atas dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu. Baca Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shohîhah no. 2253.

[3] Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry no. 100, 7307 dan Muslim no. 2673, At-Tirmidzy no. 2657, An-Nasâ`i dalam Al-Kubrô 3/455 no. 5907 dan Ibnu Mâjah no. 52.

[4] I’lâmul Muwaqqi’în 1/18.

[5] I’lâmul Muwaqqi’în 4/212.

[6] Jâmi’ul Bayân 3/327.

[7] Siyar A’lâmun Nubalâ` 13/323.

[8] Majmû’ Al-Fatâwâ 11/43.

[sumber: http://jihadbukankenistaan.com/terorisme/sebab-sebab-munculnya-terorisme-sebab-4-5.html]

SEBEB-SEBAB MUNCULNYA TERORUSME (SEBAB 1-3)

Uraian-uraian yang akan disebutkan, adalah kami simpulkan dari berbagai jasa ulama zaman ini dalam menanggulangi masalah terorisme, baik itu berupa karya tulis, ceramah ilmiyah maupun yang lainnya.

Sebab Pertama : Jauh dari tuntunan syari’at Allah.

Menjauh dan berpaling dari syari’at Islam adalah sebab kebinasaan dan kesengsaraan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thôhâ : 123-124)

Maka meninggalkan tuntunan dan aturan agama dan tidak menerapkannya dalam kehidupan adalah sebab kesengsaraan dan kesesatan, di mana terorisme terhitung bagian dari kesengsaraan yang menimpa manusia.

Dan fenomena terjauh dari tuntunan syari’at ini nampak dalam beberapa perkara :
Banyaknya bid’ah dan keyakinan yang rusak sehingga melahirkan perpecahan, pertikaian dan kelompok sempalan.
Berpaling dari jalan Salafush Shôlih, bahkan mengingkari dan menentangnya.
Tersebarnya kemungkaran, kekejian dan maksiat serta munculnya berbagai kerusakan, bahkan kadang dalam bentuk produk yang bersegel resmi dan mendapat perlindungan.
Terpaut kepada semboyan-semboyan dan dasar-dasar pemikiran rusak yang kebanyakannya diekspor dari luar kaum muslimin.

Perkara-perkara di atas dan yang semisalnya semua tergolong keberpalingan dan penjauhan diri dari agama. Kalau hal itu tetap berlangsung dan tidak diadakan perubahan terhadapnya maka pasti akan menjadi jalan utama pintu terorisme.

Sebab Kedua : Jahil terhadap tuntunan syari’at dan sedikit pemahaman agama.

Kejahilan adalah penyakit dan kejelekan yang sangat berbahaya. Darinyalah lahir berbagai fitnah, kerusakan dan malapetaka.

Dari kenyataan yang ada, kita melihat berbagai aksi terorisme dengan mengatasnamakan agama, padahal kenyataannya hal tersebut muncul dari sedikitnya pemahaman terhadap agama yang benar.

Kejahilan terhadap tuntunan agama ini nampak dengan jelas pada beberapa perkara penting,

1. Jahil terhadap kaidah-kaidah syari’at, etika dan adab-adabnya. Sehingga kadang si jahil melakukan suatu perbuatan yang menurutnya adalah sebuah perbaikan dan solusi, namun ia telah menempuh jalan salah lagi sesat karena kejahilannya terhadap kaidah-kaidah agama, etika dan adab-adabnya, seperti keadaan sebagian pelaku teror yang ingin merubah kemungkaran dan mengeluarkan orang-orang kafir dari negeri kaum muslimin dengan melakukan peledakan, penghancuran tempat tinggal dan fasilitas mereka tanpa menghiraukan kaidah-kaidah syari’at tentang pembagian-pembagian orang kafir, kapan disyari’atkan melakukan peperangan terhadap mereka, dan tidak memperdulikan kaum muslimin yang menjadi korban dari perbuatan tersebut.

2. Jahil akan maksud, mashlahat dan hikmah Islam dalam syari’at yang ditetapkannya.

Memahami maksud dan hikmah-hikmah syari’at adalah suatu hal yang sangat mendasar dalam agama kita.

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Sesungguhnya syari’at ini, dasar dan asasnya dibangun di atas berbagai hikmah dan kemashlahatan untuk segenap hamba dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dan (syari’at) seluruhnya adalah keadilan, seluruhnya adalah rahmat, seluruhnya adalah kemashlahatan dan seluruhnya adalah hikmah. Setiap masalah yang keluar dari keadilan menuju kesewenang-wenangan, dari rahmat kepada kebalikannya, dari mashlahat kepada mafsadat dan dari hikmat kepada hal yang sia-sia, maka tidaklah tergolang dari syari’at walau (masalah tersebut) dimasukkan ke dalam syari’at karena suatu ta`wîl (alasan lemah).[1]”

Dan kalau kita menyaksikan sejumlah aksi terorisme yang terjadi di berbagai negara kaum muslimin pada masa ini, maka nampak jelas bahwa aksi-aksi terorisme tersebut muncul dari kejahilan akan maksud dan hikmah pensyari’atan. Apakah sejalan hikmah dan keadilan syari’at sejalan dengan aksi-aksi peledakan yang telah menelan korban jiwa yang tidak bersalah bahkan juga menelan korban dari kaum muslimin?

Apakah dibenarkan dalam syari’at merusak perjanjian-perjanjian dan kehormatan kaum muslimin?

Apakah selaras dengan maksud dan tujuan syari’at mengadakan berbagai teror terhadap musuh yang tidak membuat musuh jera atau lumpuh, bahkan membuat musuh semakin lancang dan mempunyai sejuta alasan untuk melancarkan makar dan kebejatan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin!?

Apakah sejalan dengan syari’at agung ini menamakan seluruh hal di atas sebagai jihad di jalan Allah?

Tidaklah diragukan bahwa seluruh hal di atas terdapat padanya berbagai pelanggaran syari’at dan kerusakan dan sangat bertentangan dengan maksud dan hikmah dari disyari’atkannya tuntunan agama.

Berkata Al-‘Izz bin ‘Abdussalâm (w. 660 H) rahimahullâh, “Peperangan apa saja yang tidak mewujudkan kekalahan musuh maka wajib untuk ditinggalkan. Karena mempertaruhkan nyawa hanya dibolehkan dalam hal-hal yang ada mashlahat kemuliakan agama dan untuk mengalahkan musuh. Apabila hal tersebut tidak tercapai maka wajib untuk meninggalkan perang karena akan melayangkan nyawa dengan sia-sia, memuaskan hati-hati kaum kuffar, dan merendahkan kaum muslimin. Dan dengan demikian, (peperangan tersebut) hanya sekedar kerusakan semata, tiada suatu mashlahat pun dalam lembarannya.[2]”

3. Jahil terhadap rincian dan uraian detail permasalahan-permasalahan agama seperti masalah jihad, ketaatan kepada penguasa, hukum seputar orang-orang kafir, pemerintahan, amar ma’ruf nahi mungkar dan sebagainya.

Dan kejahilan yang seperti ini pasti akan menyebabkan jatuhnya orang-orang tersebut dalam salah satu sumber kesesatan, yaitu mengambil sebagian dari suatu tuntunan syari’at dan meninggalkan yang lainnya. Dan fenomena yang seperti ini telah menjadi sumber pemicu fitnah dan kerusakan dari masa ke masa, termasuk pendalilan dan argumentasi para pelaku terorisme yang menamakannya sebagai jihad di jalan Allah.

Dan bahaya lain akibat kejahilan ini adalah menyibukkan diri dengan cabang-cabang permasalah dan melalaikan masalah-masalah besar yang merupakan kebaikan dan kemashlahatan umat.

Sebab Ketiga : Sikap ekstrim.

Sikap ekstrim adalah suatu hal yang tercela dalam agama sebagaimana yang telah diuraikan. Dan sikap ekstrim ini adalah sumber kerusakan dan penyimpangan.

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Tidaklah Allah memerintah dengan suatu perintah kecuali syaithôn punya dua sasaran aksi perusakan, apakah untuk menelantarkan dan menyia-nyiakan, atau untuk berlebihan dan esktrim. Dan agama Allah pertengahan antara yang menyepelekan padanya dan yang ekstrim.[3]”

Dan demi Allah, tidaklah kejadian aksi-aksi peledakan tersebut muncul kecuali karena sikap ekstrim dalam menerapkan prinsip-prinsip agama.

Ekstrim dalam pengkafiran, sehingga kadang seorang pelaku dosa besar dianggap batal keislamannya oleh orang-orang tersebut.

Ekstrim dalam hal amar ma’ruf nahi mungkar sehingga banyak menjatuhkan pelakunya ke dalam jurang kesesatan dan menimbulkan berbagai problem terhadap umat.

Ekstrim dalam penegakan jihad di jalan Allah, sehingga mereka mengobarkan jihad bukan pada tempatnya yang sama sekali tidak dituntunkan dalam syari’at.

Dan tidak jarang terdengar dari sebagian orang, kelompok dan jama’ah ekstrim kalimat-kalimat berbahaya, hanya karena suatu kesalahan yang mengandung banyak kemungkinan terdengar kalimat “Ia adalah nashrany bersalib”, atau karena alasan yang sangat lemah bagaikan sarang laba-laba terdengar kalimat “Pemerintah kafir beserta antek-anteknya membiarkan Amerika dan sekutunya menduduki tanah suci”, atau karena tidak sepaham dan berbeda pendapat terdengar cercaan sadis terhadap ulama “Ulama penguasa, penjilat, budak dan takut kehilangan dunia”, “Ulama Qô’idûn (tidak berangkat berjihad saat bendera jihad ditegakkan)”.

Dan banyak lagi fenomena ekstrim yang amatlah panjang untuk diuraikan di sini.

[1] I’lâmul Muwaqqi’în 3/3.

[2] Qawâ’idul Ahkâm Fii Mashôlihil Anâm 1/95 dengan perantara kitab Asbâb Zhohitul Irhâb Fil Mujtama’ân Al-Islâmiyah hal. 13 karya DR. ‘Abdullah Al-‘Amru.

[3] Madârijus Sâlikin 2/517.

[sumber:http://jihadbukankenistaan.com/terorisme/sebab-sebab-munculnya-terorisme-sebab-1-3.html]

Senin, 13 Juni 2011

HUKUM TERORISME DAN PELAKUNYA

Tidaklah diragukan bahwa siapa yang membaca dan memahami pembahasan-pembahasan yang telah lalu seputar keindahan Islam dan tuntunan syari’at dalam masalah jihad, maka ia akan dapat menarik kesimpulan pasti dan meyakinkan bahwa terorisme dengan makna yang banyak dibicarakan saat ini adalah sesuatu hal yang diharamkan dan tercela dalam pandangan syari’at Islam.

Bagaimana mungkin agama kita membolehkan terorisme sementara nash-nash dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah menjelaskan bahwa Islam sangat menegakkan keamanan dan menyeru manusia untuk mengadakan perbaikan dan melarang dari berbuat kerusakan di muka bumi.

Terorisme yang dasarnya adalah keseweng-wenangan terhadap manusia sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang dibangun di atas keadilan.

Dan terorisme yang sifatnya kekerasan, menghancurkan, merusak, dst… sangatlah bertolak belakang dengan syari’at Islam yang penuh rahmat dan kebaikan bagi manusia.

Karena itu hukum Islam terhadap pelaku terorisme sangatlah keras dan tegas. Perhatikan hukum Islam tersebut diterangkan dalam keputusan Majelis Hai‘ah Kibâr ‘Ulama (Lembaga Ulama Besar) No.148 tanggal 12/1/1409 H (9/5/1998 M) yang dimuat oleh majalah Majma’ Al-Fiqh Al-Islâmy edisi 2 hal.181 dan majalah Al-Buhûts Al-Islâmiyah edisi 24 hal.384-387, dengan persetujuan dan tanda tangan para anggota majelis seperti Syaikh Ibnu Bâzz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn, Syaikh ‘Abdul ‘Azîz Âlu Asy-Syaikh, Syaikh Shôlih Al-Fauzân, Syaikh Shôlih Al-Luhaidân dan 12 anggota yang lainnya.

الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ أَجْمَعِيْنَ ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنِ اهْتَدَى بِهَدْيِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ . وَبَعْدُ:

Majelis Hai`ah Kibâr ‘Ulama dalam sidangnya yang ke-32 yang diselenggarakan di kota Thâ`if dari tanggal 8-12/1/1409 H, berdasarkan bukti-bukti yang kuat berkaitan dengan banyaknya aksi-aksi perusakan yang telah menelan korban yang sangat banyak dari kalangan orang-orang yang tidak berdosa dan telah rusak karenanya (sesuatu yang) banyak dari harta benda, hak-hak milik maupun fasilitas-fasilitas umum baik di negeri-negeri Islam maupun yang di negeri lain yang dilakukan oleh orang-orang yang lemah atau hilang imannya dari orang-orang yang memiliki jiwa yang sakit dan dendam. Diantaranya menghancurkan rumah-rumah dan membakarnya baik tempat-tempat umum maupun yang khusus, menghancurkan jembatan-jembatan dan terowongan-terowongan, peledakan pesawat atau membajaknya. Melihat kejadian-kejadian seperti ini, beberapa negara baik yang dekat maupun yang jauh dan karena Arab Saudi sama seperti negara-negara lainnya, memiliki kemungkinan akan diserbu oleh aksi-aksi perusakan ini, maka Majelis Hai`ah Kibâr ‘Ulama melihat sangat pentingnya menetapkan hukuman bagi pelakunya sebagai langkah preventif untuk mencegah orang-orang dari melakukan gerakan perusakan, baik gerakan tersebut dilakukan terhadap tempat-tempat umum dan sarana-sarana milik pemerintah maupun ditujukan kepada yang lainnya dengan tujuan untuk merusak dan mengganggu keamanan dan ketentraman.

Majelis telah meneliti apa yang disebutkan oleh para ulama bahwa hukum-hukum syari’at secara umum mewajibkan untuk menjaga 5 perkara pokok dan memperhatikan sebab-sebab yang menjaga kelestarian dan keselamatannya, yaitu : agama, jiwa, kehormatan, akal dan harta. Dan Majelis telah memperoleh gambaran akan bahaya-bahaya yang sangat besar yang timbul akibat Jarîmah (perbuatan keji) pelampauan batas terhadap Hurumât (hak-hak suci) kaum muslimin pada jiwa, kehormatan dan harta mereka dan apa-apa yang disebabkan oleh aksi-aksi perusakan ini berupa hilangnya rasa keamanan umum dalam negara, timbulnya kekacauan dan kegoncangan dan membuat takut kaum muslimin pada dirinya maupun harta bendanya.

Allah ‘Azza wa Jalla menjaga manusia; agama, badan, jiwa, kehormatan, akal dan harta bendanya dengan disyari’atkannya hudûd (hukum-hukum ganjaran) dan uqûbah (hukuman balasan) yang akan menciptakan keamanan secara umum dan khusus.

Dan di antara yang menjelaskan hal tersebut adalah firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa : barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”. (QS. Al-Mâ`idah : 32).

Dan firman-Nya Subhânahu wa Ta’âlâ,

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara bersilangan), atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan bagi mereka di akhirat siksaan yang besar”. (QS. Al-Mâ`idah : 33).

Dan penerapan hal tersebut merupakan jaminan untuk meratakan (menyebarkan) rasa aman dan ketentraman dan mencegah orang yang akan menjerumuskan dirinya dalam perbuatan dosa dan melampaui batas tehadap kaum muslimin pada jiwa-jiwa dan harta benda mereka. Dan jumhûr (kebanyakan) ulama berpendapat bahwasanya hukum muhârabah (memerangi pembuat kerusakan) di kota-kota dan selainnya adalah sama, dengan dalil firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,

“Dan berupaya membuat kerusakan di muka bumi”. (QS. Al-Mâ`idah : 64)

Dan Allah Ta’âlâ berfirman,

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan membinasakan tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai perusakan”. (QS. Al-Baqarah : 204-205).

Dan (Allah) Ta’âlâ berfirman,

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya”.(QS. Al-A’râf : 56,85).

Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu Ta’âlâ, “(Allah) telah melarang membuat kerusakan di muka bumi dan apa-apa yang membahayakannya setelah diperbaikinya karena sesungguhnya apabila perkara-perkara berjalan di atas As-Sadâd (lurus dan baik) kemudian terjadi kerusakan setelah itu maka itu adalah sesuatu yang paling berbahaya atas para hamba maka (Allah) Ta’âlâ melarang hal tersebut”.

Dan berkata Al-Qurthuby, “(Allah) Subhânahu wa Ta’âlâ melarang setiap kerusakan sedikit maupun banyak setelah perbaikan yang sedikit maupun banyak maka hal ini (berlaku) secara umum menurut (pendapat) yang benar dari berbagai pendapat (yang ada)”.

Berdasarkan penjelasan di atas dan karena apa yang telah lalu penjelasannya melampaui perbuatan-perbuatan para perusak, yang mereka itu memiliki target-target khusus, dimana mereka mengejar hasilnya berupa harta benda atau kehormatan, dan karena sasaran mereka (para pelaku teror itu,-pent.) adalah mengganggu keamanan dan merobohkan bangunan umat dan membongkar aqidahnya dan melencengkannya dari manhaj Rabbâny (manhaj yang haq), maka majelis dengan sepakat memutuskan (hal-hal) sebagai berikut :

Pertama : Siapa yang terbukti secara syar’i melakukan suatu perbuatan dari perbuatan-perbuatan terorisme dan membuat kerusakan di muka bumi yang menyebabkan gangguan keamanan dan menganiaya jiwa-jiwa dan harta benda baik milik khusus maupun yang milik umum seperti menghancurkan rumah-rumah, mesjid-mesjid, sekolah-sekolah atau rumah sakit, pabrik-pabrik, jembatan-jembatan, gudang-gudang senjata, penampungan-penampungan air, fasilitas-fasilitas umum untuk baitul mal seperti saluran-saluran/pipa-pipa minyak, dan menghancurkan pesawat atau membajaknya dan yang semacamnya, maka hukumannya adalah dibunuh berdasarkan kandungan ayat-ayat di atas bahwasanya perusakan di muka bumi yang seperti ini mengharuskan penumpahan darah si perusak. Dan karena bahaya dan kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan perusakan adalah lebih besar dari bahaya dan kerusakan pembegal jalanan yang melampaui batas kepada seseorang lalu membunuh dan merampas hartanya, maka Allah telah menetapkan hukumannya dalam apa yang tersebut dalam ayat Al-Harabah (QS. Al-Mâ`idah : 33 di atas,-pent.).

Kedua : Bahwasanya sebelum menjatuhkan hukuman sebagaimana point di atas (yaitu dibunuh-pent.), harus menyempurnakan Al-Ijrâ`ât (urusan, administrasi) pembuktian yang lazim di Pengadilan-pengadilan syari’at, Hai‘ah At-Tamyîz dan Mahkamah Agung dalam rangka barâ`atun lidzdzimmah (pertanggungjawaban di hadapan Allah) dan kehati-hatian terhadap nyawa. Dan untuk menunjukkan bahwasanya negeri ini (Arab Saudi,-pent.) terikat dengan segala ketentuan syari’at untuk membuktikan kejahatan dan menetapkan hukumannya.

Ketiga : Majelis memandang perlunya memberitakan tentang hukuman ini melalui media massa.

Salam dan shalawat semoga senantiasa terlimpahkan kepada hamba dan Rasul-Nya, Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga dan shahabatnya.

Majelis Hai‘ah Kibâr ‘Ulama

[sumber: http://jihadbukankenistaan.com/terorisme/hukum-terorisme-dan-pelakunya.html]

Selasa, 07 Juni 2011

KETERGELINCIRAN YANG MEMBAHAYAKAN ((Nasihat Kepada Pemuda Ahlussunnah)) -4

Oleh : Al-Ust. Jafar Soleh

4- Sepatutnya seorang penuntut ilmu terlebih lagi para da’i dari mereka untuk membedakan antara mudarah dan mudahanah. Karena mudarah itu diharapkan dan ia kaitannya dengan sikap lemah-lembut dalam bermuamalah. Diterangkan di dalam Lisanul Arab 14/255: mudarah kepada manusia adalah bersikap lemah-lembut kepada mereka dan bergaul dengan cara yang baik serta sabar atas gangguan mereka agar mereka tidak menjauh darimu. Sedangkan mudahanah tercela yaitu kaitannya dengan agama. Allah Ta’aala berfirman ((Mereka berharap kamu bermudahanah agar mereka bermudahanah juga)) Al Hasan Al Bashri berkata tentang ayat ini: Mereka berharap andaikata engkau kompromi dalam agamamu dan sebagai gantinya mereka akan kompromi dalam urusan agama mereka. –Tafsir Al Baghawi 4/377


Maka seorang yang melakukan mudaarah berlemah –lembut dalam bermuamalah tanpa mengkompromikan salah satu dari agamanya. Sedangkan seorang yang bermudahanah mendekati manusia dengan meninggalkan sesuatu dari agamanya.

Dahulu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah orang yang paling baik akhlaknya dan orang yang paling lembut kepada ummat. Maka ini merupakan contoh berlemah-lembut dari ajarannya. Dan beliau juga orang yang paling kuat dalam memegang agama Allah, beliau tidak menginggalkan satu pun dari agama ini demi siapa pun. Maka ini merupakan contoh dari sisi keteguhan dalam beragama yang tentunya bersebrangan dengan mudahanah.

Maka wajib atas penuntut ilmu untuk memperhatikan perbedaan antara dua perkara ini. Karena diantara manusia ada yang menyangka bahwa bersikap mudaarah kepada manusia dan lemah-lembut kepada mereka adalah lemah dalam beragama dan lembek. Dan bersamaan dengan itu kelompok yang lain menganggap bahwa termasuk lemah-lembut kepada manusia menyetujui kebatilan-kebatilan mereka dan diam atas kesalahan mereka. Maka dua kelompok ini keliru meyimpang dari kebenaran. Maka perhatikanlah perkara ini karena ia merupakan ketergelinciran yang membahayakan dan tidak ada yang selamat darinya kecuali orang yang diberi taufik dari Allah dan petunjuk dari-Nya.

MENDAKWAHI MANUSIA KE JALAN HIDAYAH (Nasihat Kepada Pemuda Ahlussunnah wal Jamaah) -3

Oleh : Al-Ust. Jafar Soleh

3- Sesungguhnya diantara maksud-maksud yang agung yang dianjurkan oleh Islam adalah memberi hidayah kepada manusia untuk menerima agama ini, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam kepada Ali ketika beliau mengutusnya ke Khaibar ((Ada satu orang yang mendapat hidayah Allah melaluimu itu lebih baik daripada unta merah)). HR Al Bukhari 4210 dan Muslim 2406


Maka wajib atas setiap orang yang dianugrahi Allah kepada sunnah untuk bersungguh-sungguh dalam mendakwahi orang-orang yang menyimpang dari sunnah atau kurang dalam pelaksanaannya, mengajak mereka untuk merealisasikan sunnah. Dan wajib atas mereka untuk mengupayakan semua sebab yang mungkin dalam menyampaikan hidayah kepada manusia dan mendekatkan hati-hati mereka untuk menerima kebenaran. Yaitu dengan bergaul dengan mereka secara lemah-lembut, sebagaimana firman Allah Ta’aala kepada Musa dan Harun ((Pergilah kalian berdua ekpada Fir’aun sesungguhnya dia telah melampaui batas. Katakanlah kepadanya perkataan yang lembut…)) –Thaha: 44-

Dan berbicara kepada mereka dengan panggilan yang sesuai dengan kedudukan mereka.

Dahulu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengirim surat kepada Heraklius dan mengatakan kepadanya ((Kepada Heraklius Pembesar Roma..)) dan memanggil Abdullah bin Ubay dengan kuniah (panggilan) ((Abul Hubab)).

Sebagaimana wajib atas mereka untuk sabar atas kakunya mereka dan membalasnya dengan kebaikan serta tidak tergesa-gesa dalam menilai mereka. Allah Ta’aala berfirman; ((Maka bersabarlah seperti sabarnya para ululazmi (orang-orang yang memiliki keteguhan) dari para rasul dan jangan tergesa-gesa meminta disegerakan azab kepada mereka)) –Al Ahqaf: 35-